UAS APRESIASI BUDAYA
1. Simbol
A. Simbol Representatif
Adalah aliran dan gaya seni rupa yang menggunakan situasi nyata pada kehidupan masyarakat serta gaya alam seperti naturalisme (alam), realisme (kehidupan nyata), dan romantisme (imaginer). Bentuk representasional berbicara langsung kepada indra manusia. Hal ini pertama-tama dan terutama adalah kehadiran langsung dari suatu objek individual, oleh sebab itu simbol ini tidak dapat diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk yang lain.proses terjadinya karena adanya unsur realistas (secara tertulis), representasi (secara teknis), dan ideologi (terorganisir dalam kode koherensi dan ideologis).
Contoh : Ada di dalam karya seni berjenis naturalisme, realime, dan romantisme yang banyak ditemui pada karya-karya abad pertengahan.
B. Simbol Diskursif
Simbol diskursif adalah simbol yang cara penangkapan nya mempergunakan nalar atau intelek, oleh sebab itu disebut juga simbol nalar. Penyampaian hal apa yang akan diungkapkan berlangsung secara berurutan, tidak spontan. Simbol dengan logika modern menganalisis pertanyaan-pertanyaan. Bahasa adalah satu-satunya yang tergolong dalam simbol diskursif, baik itu bahasa sehari-hari (languange of ordinary thought), bahasa ilmu (languange of scientific knowledge) ataupun bahasa filsafat (languange of philosophical thought). Keempat bahasa ini memiliki konstruksi secara konsekuen. Dalam simbol diskursif terkandung suatu struktur yang dibangun oleh kata-kata menurut hukum tata bahasa dan sintaksis. Pengabaian terhadap hukum tersebut menyebabkan kalimat kehilangan maknanya atau tak dapat dipahami, terjadi kekaburan makna.Dalam karya yang mengandung makna simbolik perasaan yang di ekspresikan dalam seni bukanlah perasaan yang asli, melainkan gagasan terhadap perasaan asli tersebut. Seperti video sebagai media audio visual yang menampilkan gerak, semakin lama semakin populer dalam masyarakat kita.
Contoh : Simbol diskursif dalam video clip Tongtolang Sambasunda meliputi musik, syair, dan visual. Karena setiap unsur-unsur tersebut memiliki pola, struktur, dan makna sebagai media ekspresi kreator.
2. Kategori Masyarakat
A. Tari Bedaya (Yogyakarta)
Bedaya (bahasa Jawa latin: bedhaya) yang berarti penari wanita di istana. Adalah bentuk tarian klasik Jawa yang dikembangkan di kalangan keraton-keraton pewaris tahta Mataram. Penari Bedhaya Ketawang mengenakan pakaian pengantin basahan Surakarta. Bedaya ditarikan secara gemulai dan meditatif. Tari ini diiringi gamelan yang terdiri atas lima macam berlaras pelog pathet lima, yakni: (1) gendhing (kemanak), (2) kala (kendhang), (3) sangka (gong), (4) pamucuk (kethuk), dan (5) sauran (kenong). Penari nya kebanyakan wanita. Tarian bedhaya sering kali merupakan hasil inspirasi raja mengenai suatu peristiwa tertentu yang disajikan dalam bentuk yang sangat stilistik. Terdapat dua jenis bedaya (bedaya ketawang dan bedaya anglirmendung). Penari bedaya berjumlah sembilan untuk bedaya yang berasal dari Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, sementara untuk bedaya yang berasal dari Kadipaten Mangkunegaran dan Pakualaman berjumlah tujuh.
B. Tari Bedaya Masuk Kategori Kesembilan
Tari bedaya biasa tujukan ketika raja wisuda, berulangtahun, dan perayaan lainnya. Tari ini juga bisa ditarikan di luar istana. Saat di luar istana tari ini hanya di lakukan oleh enam atau tujuh penari saja. Lebih sering ditarikan 9 orang maka tarian ini masuk dalam kategori kesembilan. Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang erat hubungannya dengan (1) adat upacara, (2) sakral, (3) religius, dan (4) tarian percintaan atau tari perkawinan. (Hadiwidjojo, 1981: 12-14).
C. Makna Tari Bedaya
Penari yang membawakan tarian ini berjumlah sembilan yang menyimbolkan bahwa manusia harus dapat menutup 9 lubang dalam badan manusia agar dapat menyucikan badan. Kesembilan lubang tersebut adalah: dua mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, mulut, anus dan lubang seks. Jumlah sembilan juga merupakan simbol keberadaan alam semesta dengan segala isinya, meliputi matahari, bintang, bulan, angkasa (langit), bumi (tanah), air, angin, api, dan makhluk hidup yang ada di dunia (Dewi dalam Haryanti, 2010: 91). Bedhaya Ketawang memiliki sembilan penari yang masing-masing mempunyai peran sebagai batak, endhel ajeg, dhada, gulu, apit ngarep, apit buri, endhel weton, apit meneng, dan boncit.
Pergelaran tari ini dapat diartikan sebagai upaya mengharmonisasikan makrokosmos dengan mikrokosmos. Penari endhel ajeg disimbolkan nomor 1, batak disimbolkan nomor 2, gulu disimbolkan nomor 3, dhada disimbolkan nomor 4, boncit disimbolkan nomor 5, apit ngarep disimbolkan nomor 6, apit buri disimbolkan nomor 7, endhel weton disimbolkan nomor 8, dan apit meneng disimbolkan nomor 9.
D. Makna Pola Lantai Tari Bedaya
l Pertama, pola lantai rakit lajur (wujud lahirian manusia yang terbagi atas tiga bagian, yakni kepala (dilambangkan dengan endhel ajeg, batak, dan gulu); badan (dhada dan boncit), anggota badan (apit ngarep, apit buri, endhel weton, dan apit meneng)).
l Kedua, pola lantai iring-iringan (proses hidup batiniah manusia).
l Ketiga, pola lantai ajeng-ajengan (siklus kehidupan manusia yang dihadapkan pada dua pilihan, yakni memilih hal baik atau hal buruk).
l Keempat, pola lantai lumebet lajur (kepatuhan manusia terhadap aturan-aturan atau norma yang telah disepakati dalam lingkungan internal (keluarga) dan lingkungan eksternal (masyarakat dan negara)).
l Kelima, endhel-endhel apit medal. Pola ini menggambarkan (usaha manusia untuk melepaskan diri dari aturan yang sudah disepakati/ ketidakstabilan batin manusia).
l Keenam, rakit tiga-tiga (perputaran pikiran manusia yang diawali dari keadaan tetap, kemudian goyah, dilajutkan dengan pencapaian kesadaran, dan berakhir dengan kemanunggalan).
3. Culture Dalam Masyarakat (Study of Man)
A. Covert culture
Covert Culture adalah bagian kebudayaan yang sulit diganti dengan kebudayaan asing atau lambat mengalami perubahaan. Seandainya berubah membutuhkan waktu yang relatif lama: adat istiadat, sistem nilai budaya, tradisi turun temurun. Contoh : figur ondel-ondel sebagai ikon Kota Jakarta. Si pria mengenakan topeng berwarna merah (menunjukan keberanian) dengan kumis dan cambang serta pakaian berwarna gelap. Lalu wanita mengenakan topeng putih (menunjukan kesucian) dengan gincu merah dan menggunakan pakaian berwarna terang. Namun keduanya dihiasi Kembang Kelapa, hiasan kepala khas Melayu.
B. Overt culture
Overt Culture (budaya lahir) adalah hal-hal yang mudah berubah: gaya hidup, rekreasi, peralatan, kebudayaan fisik, tata cara. Contoh : Lenong adalah kebudayaan khas Betawi berupa lantunan Gambang Kromong yang disertai dengan lawakan tanpa plot cerita. Pertunjukkan lenong menggunakan sebuah panggung yang ditata dengan sejumlah dekorasi pendukung. Di awal perkembangannya lenong memainkan cerita-cerita tentang kerajaan, baru kemudian memainkan cerita-cerita di kehidupan sehari-hari.
4. 7 Faktor yang Berkaitan dengan Manusia
Virus corona telah menyebabkan terjadinya sebuah perubahan sosial di masyarakat, di mana salah satunya dipicu oleh perkembangan teknologi komunikasi. Yang berhubungan dengan teknologi dan pengetahuan manusia. Masyarakat mau tak mau dari tidak bisa dan tidak biasa terpaksa menjadi bisa dan biasa, hingga akhirnya menjadi bagian dari budaya baru itu sendiri. Semakian banyak masyarakat yang mulai peka terhadap IPTEK. Menurut Marshall McLuhan dengan Teori Determinisme Teknologi, adalah perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi, akan membentuk keberadaan manusia itu sendiri.
Dengan kata lain, teknologi membentuk cara berpikir, berperilaku dan bergerak dari satu abad teknologi ke abad lain yang mengubah kebudayaan manusia juga. Masyarakat mulai ketergantungan terhadap gawai atau telepon pintar. Atau dengan kata lain, kehidupan manusia sangat ditentukan oleh teknologi. Menurut McLuhan, perkembangan teknologi komunikasi inilah yang menjadi penyebab utama perubahan budaya. Menurutnya, setiap penemuan teknologi baru mulai dari penemuan huruf, mesin cetak, hingga media elektronik, akan memengaruhi institusi budaya masyarakat.
Contohnya : penggunaan zoom, telegram, email, google meet, line, dan lain-lain. Semakin marak, membuat masyarakat lebih mudah berkomunikasi walaupun itu dari jarak jauh. Dan juga membuat work from home atau study from home berjalan lancar dan tetap dapat mendidik masyarakat.
5. Teori Liminalitas
Teori liminalitas dicetuskan oleh Victor Turner (1977) yang dilatar belakangi oleh kajian tentang simbol dan ritus pada masyarakat Ndembu di Afrika. Ia mengatakan bahwa perubahan seseorang dikarenakan pengaruh kebudayaan yang berbeda dari daerah asalnya yang menimbulkan seseorang tidak mengikuti baik daerah asal maupun daerah baru yang ditempati, biasanya hal ini terjadi pada masyarakat migran yang telah lama bermukim di daerah baru. Pengalaman yang diperoleh para kaum migran inilah yang mendasari mereka untuk melakukan rekonstruksi hidupnya, kepetingannya, dan masa depannya.Kondisi ini masyarakat mengalami ambiguitas.
Dengan demikian liminalitas diartikan sebagai pengalaman ambang pintu atau ritus peralihan (Gennep, 1960). Van Gennep (1960) menjelaskan ada 3 tahapan dalam ritus peralihan yaitu: Pertama, ritus pemisahan (pra-liminal) dimana seseorang terpisah dari status tetap yang dimiliki pada struktur sosial sebelumnya. Kedua, ritus perpindahan (liminal) yaitu subyek ritual dalam keadaan ambigu karena subyek tidak lagi dalam status lama, tetapi belum masuk status baru. Ketiga, ritus inkorporasi (pasca-liminal), berarti subyek ritual memasuki status atau keadaan stabil yang baru dengan menyandang berbagai hak dan kewajiban.
Contoh : Saat di tawari atau diajak melakukan sesuatu maka saya pribadi akan berpikir terlebih dahulu dampak dan manfaat dari hal tersebut. Jika saya rasa memungkinkan untuk dilakukan dengan segala pertimbangan maka saya akan melakukannya atau menerima ajakan tersebut. Tentu setelah itu saya tidak boleh menyesali apa yang saya putuskan, jadi saya akan mengusahakan yang terbaik agar saya dapat memperoleh manfaat yang maksimal.