Translate
Showing posts with label KEWARGANEGARAAN. Show all posts
Showing posts with label KEWARGANEGARAAN. Show all posts
Monday, 7 September 2020
Tuesday, 20 June 2017
SISTEM PEMBAGIAN KEKUASAAAN NKRI MENURUT UUD 1945
BAB I
PENDAHULUAN
Pembagian kekuasaan
pemerintahan seperti didapat garis-garis besarnya dalam susunan ketatanegaraan
menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah bersumber kepada susunan ketatanegaraan
Indonesia asli, yang dipengaruhi besar oleh pikiran-pikiran falsafah negara
Inggris, Perancis, Arab, Amerika Serikat dan Soviet Rusia. Aliran pikiran itu
oleh Indonesia dan yang datang dari luar, diperhatikan sungguh-sungguh dalam
pengupasan ketatanegaraan ini, semata-mata untuk menjelaskan pembagian
kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi proklamasi.
Pembagian kekuasaan
pemerintah Republik Indonesia 1945 berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang
dikenal garis-garis besarnya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia; tetapi
pengaruh dari luar; diambil tindakan atas tiga kekuasaan, yang dinamai Trias
Politica, seperti dikenal dalam sejarah kontitusi di Eropa Barat dan amerika
Serikat.
Ajaran Trias Politica
diluar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar pembagian kekuasaan, dan
pembagian atas tiga cabang kekuasaan (Trias Politica) adalah hanya akibat dari
pemikiran ketatanegaraan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang pemerintah dan
untuk menjamin kebebasan rakyat yang terperintah.
Ajaran Trias Politika
dilahirkan oleh pemikir Inggris Jhon Locke dan oleh pemikir Perancis de
Montesquieu dijabarkan dalam bukunya L’Espris des Lois, yang mengandung maksud
bahwa kekuasaan masing-masing alat perlengkapan negara atau lembaga negara yang
menurut ajaran tersebut adalah :
a. Badan legislatif,
yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang
b. Badan eksekutif yaitu
badan yang bertugas melaksanakan undang-undang
c. Badan judikatif, yaitu
badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan
megadilinya.
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara
manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia,
namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias
Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang
pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan
Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam
pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing
badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling
meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika
diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945
menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara
dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya
diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
Susunan organisasi
negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang
diatur dalam UUD 1945 baik baik sebelum maupun sesudah perubahan. Susunan
organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu :
(1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Pertimbagan
Agung (DPA)
(4) Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR)
(5) Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
Badan-badan kenegaraan
itu disebut lembaga-lembaga Negara. Sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga
Negara tersebut diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga tertinggi Negara,
sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti presiden, DPR, BPK, DPA
dan MA disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara itu menurut
hasil perubahan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945 adalah
sebagai berikut:
(1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR)
(4) Dewan Perwakilan
Daerah (DPD)
(5) Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
(7) Mahkamah Konstitusi
(MK)
Secara institusional,
lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang
satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan
kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara
mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak
menganut doktrin pemisahan kekuasaan.
Dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas
pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang
diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang
ada, yaitu;
A. Sebelum Perubahan
- MPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, mempunyai
kekuasaan untuk menetapkan UUD, GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden
serta mengubah UUD
- Presiden, yang berkedudukan dibawah MPR, mempunyai kekuasaan
yang luas yang dapat digolongkan kedalam beberapa jenis:
- Kekuasaan penyelenggaran pemerintahan;
- Kekuasaan didalam bidang perundang undangan,
menetapakn PP, Perpu;
- Kekuasaan dalam bidang yustisial, berkaitan dengan
pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi;
- Kekuasaan dalam bidang hubungan luar negeri, yaitu
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain,
mengangkat duta dan konsul.
- DPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat mempunyai
kekuasaan utama, yaitu kekuasaan membentuk undang-undang (bersama-sama
Presiden dan mengawasi tindakan presiden.
- DPA, yang berkedudukan sebagai badan penasehat Presiden,
berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak
mengajukan usul kepada pemerintah
- BPK, sebagai “counterpart” terkuat DPR, mempunyai
kekuasaan untuk memeriksa tanggung jawab keuangan Negara dan hasil
pemeriksaannya diberitahukan kepada DPR.
- MA, sebagai badan kehakiman yang tertinggi yang didalam
menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah.
B. Setelah Perubahan
- MPR, Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan
lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK,
menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN, menghilangkan kewenangannya
mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui
pemilu), tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD, susunan
keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui
pemilu.
- DPR, Posisi dan kewenangannya diperkuat, mempunyai kekuasan
membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya
memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU,
Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah, Mempertegas
fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
- DPD, Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi
keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional
setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat
sebagai anggota MPR, keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan
negara Republik Indonesia, dipilih secara langsung oleh masyarakat di
daerah melalui pemilu, mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas
RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU
lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
- BPK, Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD, berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan
negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan
kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum,
berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi,
mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen
yang bersangkutan ke dalam BPK.
- Presiden, Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan
memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa
jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial, Kekuasaan
legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR, Membatasi masa jabatan
presiden maksimum menjadi dua periode saja, Kewenangan pengangkatan duta
dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR, kewenangan
pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR,
memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil
presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga
mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
- Mahkmah Agung, Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kekuasaan
kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk
menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)], berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.dibawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),
badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian,
Advokat/Pengacara dan lain-lain.
- Mahkamah Konstitusi, Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian
konstitusi (the
guardian of the constitution),
Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan
antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa
hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD, Hakim
Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah
Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga
mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif,
legislatif, dan eksekutif.
Atas dasar itu, UUD
1945 meletakan asas dan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan
(kekuasaan) diantara lembaga-lembaga negara tersebut. Hubungan –hubungan itu
adakalanya bersifat timbal balik dan ada kalanya tidak bersifat timbal balik
hanya sepihak atau searah saja.
BAB III
KESIMPULAN
Sistem pembagian
kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias
Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan
untuk menjamin kebebasan rakyat.
Undang-undang Dasar
1945 menganut ajaran Trias Politica karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan
negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara terdiri dari Badan
legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang, Badan eksekutif
yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang, Badan judikatif, yaitu
badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan
megadilinya
Menurut UUD 1945
penyelenggaran negara pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan
negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Mahkmah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK).
Lembaga-lembaga negara
merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan
bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya,
lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara
lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan
kekuasaan, dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan
dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta
hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada.
Sistem pembagian
kekuasan yang di anut oleh Republik Indonesia saat ini tidak tertutup
kemungkinan akan berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, dengan
di amandemen UUD 1945 tahun 1999-2004 menunjukan terjadinya perubahan dalam
penyelenggaraan negara, namun semua itu tetap dalam kerangka kedaulatan rakyat
diatas segalanya.
DAFTAR PUSTAKA
1. C.S.T. Kansil, Ilmu Negara, Jakarta, PT.
Pradnya Paramita, 2007
2. Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung, Fokusmedia, 2007
3. Soehino, Hukum Tatanegara, Yogyakarta,
Liberty, 1985
Posted on 3 Mei 2010 by andukot
Wednesday, 9 March 2016
ARTIKEL HAM
Sejarah Perkembangan HAM di Dunia
Sejarah
hak asasi manusia berawal dari dunia Barat (Eropa). Seorang filsuf Inggris
pada abad ke-17, John Locke, merumuskan adanya hak alamiah (natural rights)
yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan,dan
hak milik. Pada waktu itu, hak masih terbatas pada bidang sipil (pribadi) dan politik.
Sejarah perkembangan hak asasi manusia ditandai adanya tiga peristiwa penting
di dunia Barat, yaitu Magna Charta, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis.
a. Magna
Charta (1215)
Piagam perjanjian antara
Raja John dari
Inggris dengan para bangsawan
disebut
Magna Charta. Isinya adalah pemberian jaminan beberapa hak oleh
raja kepada
para bangsawan beserta keturunannya, seperti hak untuk tidak dipenjarakan
tanpa adanya pemeriksaan pengadilan. Jaminan itu diberikan sebagai balasan
atas bantuan biaya pemerintahan yang telah diberikan oleh para bangsawan.
Sejak saat itu, jaminan hak tersebut berkembang
dan menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris.
b.
Revolusi Amerika (1276)
Perang
kemerdekaan rakyat Amerika Serikat melawan penjajahan Inggris
disebut Revolusi Amerika. Declaration
of Independence (Deklarasi Kemerdekaan)
dan Amerika Serikat menjadi negara merdeka tanggal 4 Juli 1776
merupakan hasil dari revolusi ini.
c.
Revolusi Prancis (1789)
Revolusi Prancis adalah
bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya sendiri (Louis XVI) yang telah
bertindak sewenang-wenang dan
absolut. Declaration des
droits de I’homme et du citoyen (Pernyataan Hak-Hak
Manusia dan Warga Negara) dihasilkan oleh Revolusi Prancis.
Pernyataan
ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan
(egality), dan
persaudaraan (fraternite). Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai HAM
makin luas. Sejak permulaan abad ke-20, konsep hak asasi
berkembang menjadi empat macam kebebasan (The Four Freedoms). Konsep
ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden
Amerika Serikat, Franklin D.
Rooselvelt. Keempat macam
macam kebebasan itu meliputi:
a. kebebasan
untuk beragama (freedom of
religion),
b. kebebasan
untuk berbicara dan berpendapat
(freedom of
speech),
c. kebebasan
dari kemelaratan (freedom from want), dan
d. kebebasan
dari ketakutan (freedom from fear).
Adapun berdasarkan sejarah
perkembangannya, ada tiga
generasi hak asasi manusia.
a. Generasi pertama adalah hak sipil
dan politik yang bermula di
dunia Barat (Eropa), contohnya,
hak atas hidup,
hak atas kebebasan dan keamanan,
hak atas
kesamaan di muka peradilan, hak
kebebasan
berpikir dan berpendapat, hak beragama, hak berkumpul, dan hak untuk berserikat.
b. Generasi kedua adalah hak ekonomi,
sosial, dan budaya yang diperjuangkan oleh Negara-negara sosialis di Eropa Timur, misalnya, hak
atas pekerjaan, hak atas
penghasilan yang layak, hak membentuk serikat pekerja, hak atas pangan,
kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan hak atas jaminan sosial.
c. Generasi ketiga adalah hak
perdamaian dan pembangunan yang diperjuangkan oleh
negara-negara berkembang (Asia-Afrika). Misalnya, hak bebas dari ancaman musuh,
hak setiap bangsa untuk merdeka, hak sederajat dengan bangsa lain,
dan hak mendapatkan kedamaian.
Hak asasi
manusia kini sudah diakui seluruh dunia dan bersifat universal, meliputi
berbagai bidang kehidupan manusia dan tidak lagi menjadi milik negara Barat saja.
Sekarang ini, hak asasi manusia telah menjadi isu kontemporer di dunia. PBB pada
tanggal 10 Desember 1948 mencanangkan Declaratio Universal of
Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Bunyi Pasal 1
deklarasi tersebut dengan tegas menyatakan: “Sekalian orang dilahirkan
merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal
dan budi dan kehendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”.
Deklarasi
tersebut melambangkan komitmen moral
dunia internasional
pada hak asasi manusia. Deklarasi universal ini kemudian dijadikan pedoman dan
standar minimum penegakan hak asasi manusia oleh negara-negara yang tergabung
dalam berbagai organisasi dan kelompok regional yang diwujudkan dalam
konstitusi atau undang-undang dasar setiap negara. Hasil rumusan
mengenai hak asasi manusia oleh negara-negara di dunia,
antara lain,
dijabarkan dalam:
a. Declaration
on The Rights of Peoples to Peace (Deklarasi Hak Bangsa
atas
Perdamaian) oleh negara-negara Dunia Ketiga pada tahun 1984;
b. Bangkok Declaration, diterima
oleh negara-negara Asia pada tahun 1993;
c. Deklarasi
universal dari negara-negara yang tergabung dalam PBB t tahun1993;
d. African
Charter on Human and Peoples Rights (Banjul Charter) oleh
negara-negara
Afrika yang tergabung dalam Persatuan Afrika (OAU) pada
tahun 1981;
e. Declaration
on The Rights to Development (Deklarasi Hak atas
Pembangunan)
pada tahun 1986 oleh negara-negara Dunia Ketiga;
f. Cairo
Declaration on Human Rights in Islam oleh negara-negara yang
tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) tahun
1990.
Sejarah perkembangan HAM di dunia
9out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Sejarah Perkembangan HAM di Indonesia
Pemahaman
Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat
dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis
besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM
di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia
dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang
).
A.
Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
•
Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah
memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat
melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam
tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo
dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
•
Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib
sendiri.
•
Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang
layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
•
Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih
condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang
berkenan dengan alat produksi.
•
Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk
mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak
kemerdekaan.
•
Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
•
Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak
untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat
dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam
penyelenggaraan Negara.
Pemikiran
HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara
Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin
pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI
berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak
berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan
dan lisan.
B.
Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a)
Periode 1945 – 1950
Pemikiran
HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat
legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam
hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada
periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1
November 1945.
Langkah
selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai
politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
b)
Periode 1950 – 1959
Periode
1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode
Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang
sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi
liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik.
Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada
periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan.
Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama,
semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing
– masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati
kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi
berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat,
parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat
menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol
yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang
HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang
memberikan ruang kebebasan.
c)
Periode 1959 – 1966
Pada
periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin
sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada
sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan
presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan
inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran
infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak
asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
d)
Periode 1966 – 1998
Setelah
terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk
menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar
tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM,
pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada
tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya
hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu
pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad
Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak –
hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara
itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM
mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan
ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang
dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap
defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran
barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin
dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM
sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan
dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini
berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara –
Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.
Meskipun
dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM
nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang
dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat akademisi yang
concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui
pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang
terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus
di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya
yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh
hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari
represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang
berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap
tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga
ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi
pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e)
Periode 1998 – sekarang
Pergantian
rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada
pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan
pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan
dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan
perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan
ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut
menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait
dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam
bidang HAM.
Instrumen Hukum
Internasional HAM
pasca perang dunia ke II pehatian internasional tentang
HAM tampakmeningkat karena jumlah korban yang begitu besar di berbagai belahan
dunia melahirkan keprihatinan atas penistaan terhadap nilai kemanusiaan.
Kemudian dibentuklah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang melahirkan Deklarasi
Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Beberapa
instrumen hukum tentang Hak Asasi Manusia internasional pasca Universal
Declaration of Human Rights, antara lain:
a.
Tahun 1958 lahir konvensi tentang hak-hak politik
perempuan
b.
Tahun 1966. covenanats of human rights telah teratifikasi
oleh negara-negara anggota PBB
c.
Tahun 1976 tentang konvensi internasional hak-hak khusus
d.
Tahun 1984 konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan
e.
Tahun 1990 konvesi tentang hak-hak anak
f.
Tahun 1993 tentang konvensi anti apartheid
g.
Tahun 1998 tentang konvensi menentang penyiksaan dan
perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan
martabat manusia.
h.
Tahun 1999 tentang konvensi penghapusan segala bentuk
diskriminasi rasial.
Instrumen Yuridis Hak Asasi Manusia
Pada tanggal 16
Desember 1966, dissahkan Covenant on Economic, social, and Cultural Rights dan
Internasional Covenant on civil and political rights. Hal baru dalam ketentuan
itu disebutnya hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri termasuk hak untuk
mengatur kekayaan dan sumber-sumber nasional secara bebas.
Perjanjiian nasional mengenai hak ekonomi, social dan
budaya mulai berlaku tanggal 3 Januari 1976. perjanjian ini berupaya
meningkatkan dan melindungi tiga kategori hak, yaitu:
a.
hak untuk bkerja dalam kondisi yang adil dan
menguntungkan
b.
hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas,
standar kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai
c.
hak atas pendidikan dan ha untuk menikmati manfaat
kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
UU No. 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM
salah satu dasarnya dibentuknya pengadilan HAM adalah
pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Dalam ketentuan umum pasal
1 Alinea III UU No. 26 tahun 2000 dinyatakan bahwa pengadilan HAM adalah khusus
bagi pelanggaran hak asasi manusia yanh berat. Selanjutnya, pasal 2 menyatakan
bahwa pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
peradilan umum.
Di lingkungan peradilan umum ada peradilan khusus HAM.
Kedudukan pengadilan HAM berat di daerah yang daerah hukumnya meliputi hukum
pengadilan negeri yang bersangkutan. Peradilan HAM memiliki wewenang memeriksa
dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk yang
dilakukan diluar teritorial wilayah ngara Republik Indonesia. Pelanggaran hak
asasi berat merupakan extra ordinary crime dan berdampak secara luas,
bai pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak
pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun
immaterial yang mengakibatkan rasa tidak aman, baik terhadap perseorangan
maupun masyarakat.
Perlindungan Hak Asasi Manusia Universal
Pembukaan PBB mengumandangkan kepercayaan dalam hak-hak
asasi manusia, kemuliaan, dan nilai orang per orang dalam kesamaan hak antara wanita
dan pria. Dalam piagam kemuliaan tersebut berkali-kali diulang bahwa PBB akan
mendorong, mengembangkan, dan mendukung penghormatan secara universal dan
efektif hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok bagi semua tanpa
membedakan suku, gender, bahasa dan agama.
Selanjutnya menjadi tugas dan wewenang Majelis Umum PBB
di bantu Dewan Ekonomi dan Sosial beserta komisi hak asasi manusia dan
mekanisme HAM PBB lainnya menjabarkan lenih lanjut dalam pelaksanaan misinya.
Dewan Ekonomi dan Sosial yang membantu tugas Majelis Umum
dalam menangani HAM dapat pula membentuk komisi, misalnya Komisi Hak Asasi
Manusia beranggotakan 53 negara dan mempunyai tugas menyiapkan rekomendasi dan
laporan mengenai perjanjian intrnasional tentang hak-hak asasi, konvensi-konvensi
dan deklarasi internasional tentang kebebasan sipil, informasi, perlindungan
kelompok minoritas, pencegahan diskriminasi atas dasar suku, gender, bahasa,
agama dan masalah lain yang berkaitan dengan HAM.
Khusus mengenai wanita dibentuk komisi mengenai status
wanita yang beranggotakan 45 negara yang bertindak dalam kapasitas pribadi.
Komisi ini bertugas menyiapkan laporan-laporan mengenai promosi hak-hak wanita
dibidang politik, ekonomi, sosial dan pendidikan, sera membuat
rekomendasi kepada dewan ekonomi dan sosial tentang masalah yang membutuhkan
perhatian di bidang HAM.
Disamping itu ada dua badan khusus PBB yang juga
menangani masalah HAM, yaitu oraganisasi buruh sedunia (ILO) yang brtugas
memperbaiki syarat-syarat kerja dan hidup para buruh dan membuat rekomendasi
standar minimum dibidang gaji, jam kerja, syarat-syarat pekerjaan dan jaminan
sosial. Badan kedua adalah UNESCO yang mempunyai tugas meningkatkan kerjasama
antar bangsa melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Perkembang terakhir
hukum pidana internasional adala disepakati pembentukan International Crime
Court (ICC). Dalam suatu sidang United Nations Diplomatic Conference on
Criminal Court 17 Juni 1998 di Roma Italia. Dengan disahkan
ICC sebagai badan baru PBB terwujudlah suatu badan peradilan internasional yang
bersifat tetap. Badan ini memiliki kekuasaan untuk melaksanakan yuridisdiksinya
atas seseorang yang melakukan kejahatan yang serius. Jenis kejahatan yang
disepakati ICC, antara lain:
1. The
Crime of Genocide (pemusnahan, misal terhadap kelompok etnis atau penganut
agama tertentu).
2. Crime
Against humanity (kejahatan melawan kemanusiaan)
3. The
Crime of Aggression (penyerangan suatu bangsa atau Negara terhadap Negara
lain).
4. War
Crimes (kejahatan perang)
Hambatan Dan
Tantangan Dalam Penegakkan Hak Asasi Manusia
Adapun aspek yang menjadi penyebabnya dalam penegakkan
HAM adalah:
1.
belum adanya pemahaman dan kesadaran yang sama tentang
konsep HAM antara individu dan secara universal.
2.
Di Indonesia konsep HAM dirumuskan sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945. namun karena dirasa masih kurang lengkap maka terdapat
berbagai bentuk pelanggaran HAM yang belum diatur dengan tegas, seperti
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh aparatur pemerintah atau
penegak hukum sehingga akhirnya terjadi KKN.
3.
kurang adanya kepastian hukum terhadap pelanggar HAM
4.
adanya campur tangan dalam lembaga peradilan
5.
kurang berfungsinya lembaga penegak hukum.
Instrumen
HAM Nasional
- Kepres No. 181 Tahun 1998
Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
- Kepres No. 36 Tahun 1990
Tentang Konvensi Hak-hak Anak - Inpres No. 9 Tahun 2000
Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
- Perpres No. 23 Tahun 2011
Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia
- UU No. 7 Tahun 1984
Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
- UU No. 5 Tahun 1998
Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perilaku atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahakan Martabat Manusia
- UU No. 19 Tahun 1999
Tentang Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa
- UU No. 29 Tahun 1999
Tentang Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965
- UU No. 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia
- UU No. 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan HAM
- UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
- UU No. 20 Tahun 2003
Tentang Pendidikan
- UU No 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
- UU No. 11 Tahun 2005
Tentang Ratifikasi ICESCR
Tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Ekosob
- UU No. 12 Tahun 2005
Tentang Ratifikasi ICCPR
Tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Sipol
- UU No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan
- UU No. 19 Tahun 2011
Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas
- UUDNRI Tahun 1945
Lembaga-Lembaga Perlindungan HAM di Indonesia
Di
Indonesia Pelaksanaan upaya pelindungan HAM dilakukan oleh lembaga milik
pemerintah dan lembaga milik swasta lain yang berwenang, antara lain :
1.
Kepolisian
Tugas
kepolisian adalah melakukan pengamanan dan penyelidikan terhadap setiap berkas
perkara pelanggaran HAM yang masuk.
2.
Kejaksaan
Tugas
utama jaksa adalah melakukan penuntutan suatu perkara pelanggara HAM yang telah
dilaporkan. Kejaksaan diatur dalam UUD No. 16 Tahun 2004.
3.
Komnas HAM
Tujuan
Komnas HAM adala memberikan perlindungan sekaligus penegakan hak asasi manusia
di Indonesia.
4.
Pengadilan HAM di Indonesia
Pengadilan
HAM khusus diprntukan dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yaitu kejaksaan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Proses pemeriksaan
perkara dalam Pengadilan HAM tidak jauh berbeda dengan prosedur-prosedur
pemeriksaan di Pengadilan sipil.
5.
Lembaga Bantuan Hukum
LBH
bersifat membela kepentingan masyarakat tanpa memandang latar belakang suku,
keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan politik, harta kekayaan, agama dan
kelompok.
6.
YLBHI ( Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
YLBHI
sebagai upaya pnegakan dan perlindungan HAM pada masyarakat menengah kebawah.
Tahun 2013, Pelanggaran HAM di Indonesia Meningkat
EMPO.CO, Jakarta - Koordinator Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, mengatakan
sepanjang Januari-November 2013, telah terjadi 709 kasus dugaan pelanggaran HAM
yang dilakukan aparat kepolisian. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya
yang berjumlah 448 kasus. Sementara pada 2011, angka pelanggaran HAM 112 kasus.
"Tahun ini ada 4569 warga sipil yang menjadi korban. Ratusan meninggal
dunia," kata Haris, Kamis, 26 Desember 2013.
Menurut Haris, ada tiga jenis pelanggaran HAM yang menonjol sepanjang 2013. Pelanggaran HAM yang paling mengusik masih didominasi oleh konflik eksploitasi sumber daya alam. Pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan menyusul di tempat kedua. Terakhir, aparat, mulai dari kepolisian sampai TNI, menyalahgunakan wewenangnya. Selain pembiaran aparat, kata Haris, Presiden selaku otoritas tertinggi tak pernah berupaya memperkuat komisi pengawas aparat negara, seperti polisi dan TNI. Produk hukum yang dibikin hanya untuk menunjang kepentingan ekonomi-politik kelompok tertentu saja. "Yang dibilang sebagai kejahatan ternyata tak ada sanksinya. Tak heran pelanggaran HAM akan terus berulang," kata Haris. Meningkatnya pelanggaran HAM sepanjang 2013, kata Haris, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan pembiaran. SBY dianggap tak pernah menindak tegas atau minimal meminta institusi pelanggar HAM untuk mengevaluasi diri. "Tak ada komitmen menuntaskan pelanggaran HAM. Cuma janji. Khas SBY."
KontraS menilai, selepas pemerintahan Abdurrahman Wahid, Presiden tak pernah berupaya menyelesaikan persoalan yang menyerempet persoalan politis seperti pelanggaran HAM. SBY, kata Haris, yang sudah memerintah sembilan tahun juga dianggap tak berkomitmen merampungkan kasus pelanggaran HAM. Indikasi makin menguat ketika SBY kian dekat dengan Prabowo Subianto, figur yang dianggap KontraS sebagai pelanggar HAM tapi tetap melenggang bebas.
Menurut Haris, ada tiga jenis pelanggaran HAM yang menonjol sepanjang 2013. Pelanggaran HAM yang paling mengusik masih didominasi oleh konflik eksploitasi sumber daya alam. Pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan menyusul di tempat kedua. Terakhir, aparat, mulai dari kepolisian sampai TNI, menyalahgunakan wewenangnya. Selain pembiaran aparat, kata Haris, Presiden selaku otoritas tertinggi tak pernah berupaya memperkuat komisi pengawas aparat negara, seperti polisi dan TNI. Produk hukum yang dibikin hanya untuk menunjang kepentingan ekonomi-politik kelompok tertentu saja. "Yang dibilang sebagai kejahatan ternyata tak ada sanksinya. Tak heran pelanggaran HAM akan terus berulang," kata Haris. Meningkatnya pelanggaran HAM sepanjang 2013, kata Haris, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan pembiaran. SBY dianggap tak pernah menindak tegas atau minimal meminta institusi pelanggar HAM untuk mengevaluasi diri. "Tak ada komitmen menuntaskan pelanggaran HAM. Cuma janji. Khas SBY."
KontraS menilai, selepas pemerintahan Abdurrahman Wahid, Presiden tak pernah berupaya menyelesaikan persoalan yang menyerempet persoalan politis seperti pelanggaran HAM. SBY, kata Haris, yang sudah memerintah sembilan tahun juga dianggap tak berkomitmen merampungkan kasus pelanggaran HAM. Indikasi makin menguat ketika SBY kian dekat dengan Prabowo Subianto, figur yang dianggap KontraS sebagai pelanggar HAM tapi tetap melenggang bebas.
Subscribe to:
Posts (Atom)