SEJARAH
TERBENTUKNYA PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL
Sejarah
Lahirnya Gerakan
Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino, Italia Utara, pasukan Perancis dan Italia sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu peperangan yang mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda warganegara Swiss, Henry Dunant , berada di sana dalam rangka perjalanannya untuk menjumpai Kaisar Perancis, Napoleon III. Puluhan ribu tentara terluka, sementara bantuan medis militer tidak cukup untuk merawat 40.000 orang yang menjadi korban pertempuran tersebut. Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengerahkan bantuan untuk menolong mereka.
Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke Swiss, dia menuangkan kesan dan pengalaman tersebut kedalam sebuah buku berjudul "Kenangan dari Solferino", yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua gagasan:
Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino, Italia Utara, pasukan Perancis dan Italia sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu peperangan yang mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda warganegara Swiss, Henry Dunant , berada di sana dalam rangka perjalanannya untuk menjumpai Kaisar Perancis, Napoleon III. Puluhan ribu tentara terluka, sementara bantuan medis militer tidak cukup untuk merawat 40.000 orang yang menjadi korban pertempuran tersebut. Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengerahkan bantuan untuk menolong mereka.
Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke Swiss, dia menuangkan kesan dan pengalaman tersebut kedalam sebuah buku berjudul "Kenangan dari Solferino", yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua gagasan:
- Pertama, membentuk organisasi kemanusiaan internasional , yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan perang.
- Kedua, mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang serta perlindungan sukarelawan dan organisasi tersebut pada waktu memberikan pertolongan pada saat perang.
Pada
tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk
mengembangkan gagasan pertama tersebut. Mereka bersama-sama membentuk
"Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang cedera", yang
sekarang disebut Komite Internasional Palang Merah atau International
Committee of the Red Cross (ICRC).
Dalam perkembangannya kelak untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan di setiap negara maka didirikanlah organisasi sukarelawan yang bertugas untuk membantu bagian medis angkatan darat pada waktu perang. Organisasi tersebut yang sekarang disebut Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.
Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864, atas prakarsa pemerintah federal Swiss diadakan Konferensi Internasional yang dihadiri beberapa negara untuk menyetujui adanya "Konvensi perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang". Konvensi ini kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949 atau juga dikenal sebagai Konvensi Palang Merah. Konvensi ini merupakan salah satu komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang
Dalam perkembangannya kelak untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan di setiap negara maka didirikanlah organisasi sukarelawan yang bertugas untuk membantu bagian medis angkatan darat pada waktu perang. Organisasi tersebut yang sekarang disebut Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.
Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864, atas prakarsa pemerintah federal Swiss diadakan Konferensi Internasional yang dihadiri beberapa negara untuk menyetujui adanya "Konvensi perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang". Konvensi ini kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949 atau juga dikenal sebagai Konvensi Palang Merah. Konvensi ini merupakan salah satu komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang
PALANG MERAH INTERNASIONAL
- Komite Internasional Palang Merah / International Committee of the Red Cross (ICRC), yang dibentuk pada tahun 1863 dan bermarkas besar di Swiss. ICRC merupakan lembaga kemanusiaan yang bersifat mandiri, dan sebagai penengah yang netral. ICRC berdasarkan prakarsanya atau konvensi-konvensi Jenewa 1949 berkewajiban memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban dalam pertikaian bersenjata internasional maupun kekacauan dalam negeri. Selain memberikan bantuan dan perlindungan untuk korban perang, ICRC juga bertugas untuk menjamin penghormatan terhadap Hukum Perikemanusiaan internasional.
- Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, yang didirikan hampir di setiap negara di seluruh dunia, yang kini berjumlah 176 Perhimpunan Nasional, termasuk Palang Merah Indonesia. Kegiatan perhimpunan nasional beragam seperti bantuan darurat pada bencana, pelayanan kesehatan, bantuan sosial, pelatihan P3K dan pelayanan transfusi darah. Persyaratan pendirian suatu perhimpunan nasional diantaranya adalah :
- mendapat pengakuan dari pemerintah negara yang sudah menjadi peserta Konvensi Jenewa
- menjalankan Prinsip Dasar Gerakan
Bila
demikian ICRC akan memberi pengakuan keberadaan perhimpunan tersebut sebelum
menjadi anggota Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
- Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah / International Federation of Red Cross and Red Crescent (IFRC), Pendirian Federasi diprakarsai oleh Henry Davidson warganegara Amerika yang disahkan pada suatu Konferensi Internasional Kesehatan pada tahun 1919 untuk mengkoordinir bantuan kemanusiaan, khususnya saat itu untuk menolong korban dampak paska perang dunia I dalam bidang kesehatan dan sosial. Federasi bermarkas besar di Swiss dan menjalankan tugas koordinasi anggota Perhimpunan Nasional dalam program bantuan kemanusiaan pada masa damai, dan memfasilitasi pendirian dan pengembangan organisasi palang merah nasional.
PERTEMUAN ORGANISASI PALANG MERAH
INTERNASIONAL
Sesuai dengan Statuta dan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menyebutkan empat tahun sekali diselenggarakan Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Internasional Red Cross Conference) . Konferensi ini dihadiri oleh seluruh komponen Gerakan Palang Merah Internasional ( ICRC, perhimpunan nasional dan Federasi Internasional ) serta seluruh negara peserta Konvensi Jenewa. Konferensi ini merupakan badan tertinggi dalam Gerakan dan mempunyai mandat untuk membahas dan memutuskan semua ketentuan internasional yang berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan kepalangmerahan yang akan menjadi komitmen semua peserta.
Dua tahun sekali , Gerakan Palang Merah Internasional juga mengadakan pertemuan Dewan Delegasi (Council of Delegates) , yang anggotanya terdiri atas seluruh komponen Gerakan. Dewan Delegasi akan membahas permasalahan yang akan dibawa dalam konferensi internasional. Suatu tim yang dibentuk secara khusus untuk menyiapkan pertemuan selang antar konferensi internasional yaitu Komisi Kerja (Standing Commission). Bersamaan dengan pertemuan tersebut khusus untuk Federasi Internasional dan anggota perhimpunan nasional juga mengadakan pertemuan Sidang Umum (General Assembly) sebagai forum untuk membahas program kepalangmerahan dan pengembangannya.
Sesuai dengan Statuta dan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menyebutkan empat tahun sekali diselenggarakan Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Internasional Red Cross Conference) . Konferensi ini dihadiri oleh seluruh komponen Gerakan Palang Merah Internasional ( ICRC, perhimpunan nasional dan Federasi Internasional ) serta seluruh negara peserta Konvensi Jenewa. Konferensi ini merupakan badan tertinggi dalam Gerakan dan mempunyai mandat untuk membahas dan memutuskan semua ketentuan internasional yang berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan kepalangmerahan yang akan menjadi komitmen semua peserta.
Dua tahun sekali , Gerakan Palang Merah Internasional juga mengadakan pertemuan Dewan Delegasi (Council of Delegates) , yang anggotanya terdiri atas seluruh komponen Gerakan. Dewan Delegasi akan membahas permasalahan yang akan dibawa dalam konferensi internasional. Suatu tim yang dibentuk secara khusus untuk menyiapkan pertemuan selang antar konferensi internasional yaitu Komisi Kerja (Standing Commission). Bersamaan dengan pertemuan tersebut khusus untuk Federasi Internasional dan anggota perhimpunan nasional juga mengadakan pertemuan Sidang Umum (General Assembly) sebagai forum untuk membahas program kepalangmerahan dan pengembangannya.
Henry Dunant
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Henry
Dunant
|
|
Dunant sebagai seorang pria tua
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Kewarganegaraan
|
|
Pekerjaan
|
aktivis sosial, pebisnis, penulis
|
Dikenal karena
|
Pendiri Palang Merah
|
Agama
|
|
Orang tua
|
Jean-Jacques Dunant
Antoinette Dunant-Colladon |
Penghargaan
|
Nobel Perdamaian (1901)
|
Jean Henri
Dunant (lahir 8 Mei 1828 – meninggal
30 Oktober 1910 pada umur 82
tahun), yang juga dikenal dengan nama Henry Dunant, adalah pengusaha dan
aktivis sosial Swiss. Ketika melakukan perjalanan untuk urusan bisnis pada
tahun 1859, dia menyaksikan akibat-akibat dari Pertempuran Solferino, sebuah
lokasi yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Kenangan dan pengalamannya itu
dia tuliskan dalam sebuah buku dengan judul A Memory of Solferino
(Kenangan Solferino), yang menginspirasi pembentukan Komite
Internasional Palang Merah (ICRC) pada tahun 1863. Konvensi Jenewa 1864 didasarkan pada
gagasan-gagasan Dunant. Pada tahun 1901, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang pertama,
bersama dengan Frédéric Passy.
Masa muda dan pendidikan Dunant
Dunant lahir di
Jenewa, Swiss, putra pertama dari pengusaha Jean-Jacques Dunant dan istrinya
Antoinette Dunant-Colladon. Keluarganya adalah penganut mashab Kalvin (''Calvinist'')
yang taat serta mempunyai pengaruh yang signifikan di kalangan masyarakat
Jenewa. Kedua orangtuanya menekankan pentingnya nilai kegiatan sosial. Ayahnya
aktif membantu anak yatim-piatu dan narapidana yang menjalani bebas bersyarat,
sedangkan ibunya melakukan kegiatan sosial membantu orang sakit dan kaum
miskin.
Dunant tumbuh
pada masa kebangkitan kesadaran beragama yang dikenal dengan nama Réveil.
Pada usia 18 tahun, dia bergabung dengan Perhimpunan Amal Jenewa (Geneva Society for Alms Giving). Pada
tahun berikutnya, bersama teman-temannya, dia mendirikan perkumpulan yang
disebut ”Thursday Association”, sebuah kelompok anak muda tanpa ikatan
keanggotaan resmi yang melakukan pertemuan rutin untuk mempelajari Bibel dan
menolong kaum miskin. Waktu senggangnya banyak dia habiskan untuk mengunjungi
penjara dan melakukan kegiatan sosial. Pada tanggal 30 November 1852, Dunant
mendirikan cabang YMCA di Jenewa. Tiga tahun kemudian, dia
berpartisipasi dalam pertemuan Paris yang bertujuan membentuk YMCA menjadi
sebuah organisasi internasional.
Pada tahun 1849,
ketika berusia 21, Dunant terpaksa meninggalkan Kolese Kalvin (Collège Calvin)
karena prestasi akademisnya buruk. Dia kemudian menjadi pekerja magang di
perusahaan penukaran uang bernama Lullin et Sautter. Setelah masa
magangnya selesai dengan prestasi baik, dia diangkat sebagai karyawan bank
tersebut.
Aljazair
Pada tahun
1853, Dunant mengunjungi Aljazair, Tunisia, dan Sisilia karena ditugaskan oleh
perusahaan yang melayani “wilayah-wilayah jajahan Setif”, yaitu perusahaan
bernama Compagnie genevoise de Colonies de Sétif. Meskipun pengalamannya
kurang, Dunant berhasil menyelesaikan penugasan tersebut dengan memuaskan.
Terinspirasi oleh pengalaman perjalanan tersebut, Dunant untuk pertama kalinya
menulis sebuah buku, yang dia beri judul Notice sur la Régence de Tunis
(Kisah tentang Regensi di Tunisia). Buku ini diterbitkan pada tahun 1858.
Pada tahun
1856, Dunant mendirikan perusahaan yang beroperasi di wilayah-wilayah jajahan
luar negeri dan, setelah memperoleh konsesi lahan dari Aljazair yang ketika itu
berada di bawah pendudukan Prancis, dia juga mendirikan perusahaan perkebunan
dan perdagangan jagung bernama Société financière et industrielle des
Moulins des Mons-Djémila (Perusahaan Keuangan dan Industri Penggilingan
Mons-Djémila). Namun, lahan dan hak atas air yang dijanjikan tidak kunjung
ditetapkan dengan jelas, sedangkan otoritas kolonial di Aljazair juga bersikap
kurang kooperatif. Oleh karena itu, Dunant memutuskan untuk meminta bantuan
secara langsung kepada Kaisar Napoleon III
dari Perancis, yang ketika itu sedang berada di Lombardi bersama
pasukannya. Prancis sedang berperang di pihak Piedmont-Sardinia melawan
Austria, yang ketika itu menduduki banyak dari wilayah yang dewasa ini bernama
Italia. Markas Napoleon terletak di kota kecil bernama Solferino. Dunant menulis sebuah buku yang
isinya penuh sanjungan dan pujian bagi Napoleon III untuk dia hadiahkan kepada
kaisar tersebut. Kemudian dia melakukan perjalanan ke Solferino untuk bertemu
secara pribadi dengan Napoleon III.
Pertempuran Solferino
Dunant tiba di
Solferino pada petang hari tanggal 24 Juni 1859, tepat ketika pertempuran
antara kedua pihak tadi baru saja selesai. Sekitar 38 ribu prajurit
bergeletakan di medan tempur dalam keadaan terluka, sekarat, atau tewas, dan
tidak tampak ada upaya yang berarti yang dilakukan untuk memberikan perawatan
kepada mereka. Dalam keadaan terguncang melihat pemandangan itu, Dunant
berinisiatif mengerahkan penduduk sipil setempat, terutama kaum perempuan,
untuk memberikan pertolongan kepada para prajurit yang terluka dan sakit.
Karena persediaan alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan tidak memadai,
Dunant sendiri mengatur pembelian material yang dibutuhkan itu serta membantu
mendirikan rumah sakit darurat. Dia berhasil meyakinkan penduduk setempat untuk
melayani para korban luka tanpa melihat di pihak mana mereka bertempur, sesuai
dengan slogan “Tutti fratelli” (Kita semua bersaudara) yang diciptakan
oleh kaum perempuan dari kota Castiglione delle Stiviere tak jauh dari tempat
itu. Dia juga berhasil membujuk pihak Prancis untuk membebaskan dokter-dokter
Austria yang mereka tawan.
Palang Merah
Sekembalinya ke
Jenewa pada awal bulan Juli, Dunant memutuskan menulis sebuah buku tentang
pengalamannya itu, yang kemudian dia beri judul Un Souvenir de Solferino
(Kenangan Solferino). Buku ini diterbitkan pada tahun 1862 dengan jumlah 1.600
eksemplar, yang dicetak atas biaya Dunant sendiri. Dalam buku ini, Dunant
melukiskan pertempuran yang terjadi, berbagai ongkos pertempuran tersebut, dan
keadaan kacau-balau yang ditimbulkannya. Dia juga mengemukakan gagasan tentang
perlunya dibentuk sebuah organisasi netral untuk memberikan perawatan kepada
prajurit-prajurit yang terluka. Buku ini dia bagikan kepada banyak tokoh
politik dan militer di Eropa.
Dunant juga
memulai perjalanan ke seluruh Eropa untuk mempromosikan gagasannya. Buku
tersebut mendapat sambutan yang sangat positif. Presiden Geneva Society for
Public Welfare (Perhimpunan Jenewa untuk Kesejahteraan Umum), yaitu seorang
ahli hukum bernama Gustave
Moynier, mengangkat buku ini beserta usulan-usulan Dunant di
dalamnya sebagai topik pertemuan organisasi tersebut pada tanggal 9 Februari
1863. Para anggota organisasi tersebut mengkaji usulan-usulan Dunant dan
memberikan penilaian positif. Mereka kemudian membentuk sebuah Komite yang
terdiri atas lima orang untuk menjajaki lebih lanjut kemungkinan mewujudkan
ide-ide Dunant tersebut, dan Dunant diangkat sebagai salah satu anggota Komite
ini. Keempat anggota lain dalam Komite ini ialah Gustave Moynier, jenderal angkatan
bersenjata Swiss bernama Henri
Dufour, dan dua orang dokter yang masing-masing bernama Louis
Appia dan Théodore Maunoir. Komite ini
mengadakan pertemuan yang pertama kali pada tanggal 17 Februari 1863, yang
sekarang dianggap sebagai tanggal berdirinya Komite
Internasional Palang Merah (ICRC).
Dari awal,
Moynier dan Dunant saling berbeda pendapat dan bertikai menyangkut visi dan
rencana mereka masing-masing, dan ketidaksepahaman mereka itu semakin lama
semakin besar. Moynier menganggap ide Dunant tentang perlunya ditetapkan
perlindungan kenetralan bagi para pemberi perawatan sebagai gagasan yang sulit
diterima akal serta menasihati Dunant untuk tidak bersikeras memaksakan konsep
tersebut. Namun, Dunant terus menganjurkan pendiriannya itu dalam setiap
perjalanannya dan dalam setiap pembicaraannya dengan pejabat-pejabat politik
dan militer tingkat tinggi. Ini semakin mempersengit konflik pribadi antara
Moynier, yang memakai pendekatan pragmatis terhadap proyek tersebut, dan
Dunant, yang merupakan idealis visioner di antara kelima anggota Komite itu.
Pada akhirnya, Moynier berusaha menyerang dan menggagalkan Dunant ketika Dunant
mencalonkan diri untuk posisi ketua Komite.
Pada bulan
Oktober 1863, 14 negara berpartisipasi dalam pertemuan yang diselenggarakan
oleh Komite tersebut di Jenewa untuk membahas masalah perbaikan perawatan bagi
prajurit terluka. Namun, Dunant sendiri hanya menjadi ketua protokoler dalam
pertemuan tersebut sebagai akibat dari usaha Moynier untuk memperkecil perannya.
Setahun kemudian, pada tanggal 22 Agustus 1864, sebuah konferensi diplomatik
yang diselenggarakan oleh Parlemen Swiss membuahkan hasil berupa
ditandatanganinya Konvensi Jenewa
Pertama oleh 12 negara. Untuk konferensi ini pun, Dunant hanya bertugas sebagai
pengatur akomodasi bagi peserta.
Masa yang terlupakan
Bisnis Dunant
di Aljazair mengalami kemunduran, sebagian karena devosinya pada cita-cita
humanistiknya sendiri. Pada bulan April 1867, bangkrutnya perusahaan keuangan Crédit
Genevois mengakibatkan sebuah skandal yang melibatkan Dunant. Dia dipaksa
menyatakan pailit dan divonis bersalah oleh Pengadilan Dagang Jenewa pada
tanggal 17 Agustus 1868 atas praktik penipuan dalam kasus kebangkrutan
tersebut. Keluarganya dan banyak dari teman-temannya sangat terkena dampak dari
bankrutnya Crédit Genevois karena mereka banyak berinvestasi dalam
perusahaan ini. Masyarakat di Jenewa, sebuah kota dengan tradisi Kalvin yang
berakar mendalam, menjadi gusar dan heboh sehingga muncul seruan-seruan agar Dunant
mengundurkan diri dari Komite Internasional Palang Merah.
Pada tanggal 25
Agustus 1868, dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Sekretaris Komite
dan, pada tanggal 8 September, dia dikeluarkan sepenuhnya dari Komite. Moynier,
yang menjadi Presiden Komite sejak 1864, berperan besar dalam menyingkirkan
Dunant dari Komite.
Pada bulan
Februari 1868, ibu Dunant meninggal dunia. Pada akhir tahun itu, Dunant juga
dikeluarkan dari YMCA. Pada bulan Maret 1867, dia meninggalkan kota
kelahirannya, Jenewa, dan tidak pernah kembali lagi ke sana. Pada tahun-tahun
berikutnya, Moynier tampaknya berusaha mempergunakan pengaruhnya untuk
memastikan bahwa Dunant jangan sampai menerima bantuan atau dukungan dari
teman-temannya. Misalnya, hadiah medali emas Sciences Morales di Pekan
Raya Dunia Paris tidak jadi diberikan kepada Dunant sesuai rencana semula,
tetapi diberikan kepada Moynier, Dufour, dan Dunant bersama-sama sehingga
seluruh uang hadiah tersebut menjadi hak Komite. Tawaran Napoleon III untuk
mengambilalih separuh dari kewajiban utang Dunant dengan syarat teman-teman
Dunant menjamin pelunasan yang separuh lagi juga digagalkan oleh usaha Moynier.
Dunant pindah
ke Paris dan hidup di sana dalam keadaan berkekurangan. Namun, dia terus
berupaya mewujudkan gagasan dan rencana kemanusiaannya. Selama berlangsungnya
Perang Prancis-Prusia (1870-1871), dia mendirikan Perhimpunan Bantuan
Kemanusiaan Bersama (''Allgemeine Fürsorgegesellschaft'') dan,
tak lama setelah itu, dia mendirikan Aliansi Bersama untuk Ketertiban dan
Peradaban (''Allgemeine Allianz für Ordnung und Zivilisation'').
Dunant berargumen tentang perlunya diadakan perundingan perlucutan senjata dan
perlunya didirikan sebuah pengadilan internasional untuk memediasi konflik
internasional. Kemudian, dia mengupayakan terbentuknya perpustakaan dunia,
sebuah gagasan yang mempunyai gema dalam berbagai proyek di kemudian hari,
antara lain UNESCO.
Dalam usahanya
yang tak pernah berhenti untuk menganjurkan dan mewujudkan gagasan-gagasannya,
Dunant semakin mengabaikan situasi keuangan pribadinya sehingga dia semakin
terlilit utang dan dijauhi oleh kenalan-kenalannya. Meskipun diangkat sebagai
anggota kehormatan Perhimpunan Palang Merah Austria, Belanda, Swedia, Prusia,
dan Spanyol, dia nyaris dilupakan dalam perjalanan resmi Gerakan Palang Merah,
pun ketika Gerakan ini berkembang pesat ke negara-negara lain. Dunant hidup dalam
kemiskinan dan berpindah-pindah tempat antara 1874-1886, termasuk Stuttgart,
Roma, Korfu, Basel, dan Karlsruhe. Di Stuttgart, Dunant bertemu mahasiswa
Universitas Tübingan (Tübingen University) bernama Rudolf Müller dan
kemudian bersahabat karib dengannya. Pada tahun 1881, bersama-sama dengan
sejumlah teman dari Stuttgart, Dunant untuk pertama kalinya pergi ke Heiden,
sebuah desa peristirahatan di Swiss. Pada 1887, ketika tinggal di London, dia
mulai menerima bantuan keuangan bulanan dari sejumlah kerabat jauh. Ini
memungkinkan dia untuk hidup dalam kondisi keuangan yang lebih aman. Dunant
pindah ke Heiden pada bulan Juli 1887 dan tinggal di desa tersebut selama sisa
hidupnya. Sejak 30 April 1892, dia tinggal di rumah sakit dan panti jompo yang
dipimpin oleh Dr. Hermann Altherr.
Di Heiden, dia
bertemu dengan seorang guru muda bernama Wilhelm Sonderegger dan istrinya
Susanna. Mereka mendorongnya untuk mencatat pengalaman hidupnya. Istri
Sonderegger mendirikan cabang Palang Merah di Heiden dan, pada tahun 1890,
Dunant menjadi presiden kehormatan cabang tersebut. Dengan adanya Sonderegger,
Dunant berharap akan dapat mempromosikan gagasan-gagasannya lebih lanjut,
termasuk menerbitkan edisi baru bukunya. Namun, persahabatan mereka di kemudian
hari menjadi tegang karena Dunant melontarkan tuduhan yang tak dapat dibenarkan
bahwa Sonderegger, bersama Moynier di Jenewa, berkonspirasi menentangnya.
Sonderegger meninggal pada tahun 1904, di usianya yang baru mencapai 42 tahun.
Meskipun hubungan mereka tegang, Dunant sangat terharu dengan kematian
Sonderegger yang tak terduga-duga itu. Kekaguman Wilhelm dan Susanna
Sonderegger atas Dunant, yang tetap mereka rasakan walaupun Dunant melontarkan
tuduhan tersebut, terwariskan kepada anak-anak mereka. Pada tahun 1935, putra
mereka, yaitu René, menerbitkan kumpulan surat-surat yang ditulis Dunant kepada
ayahnya.
Kembali diingat publik
Pada bulan
September 1895, Georg Baumberger, editor kepala Die Ostschweiz, sebuah surat
kabar yang terbit di St. Gall, menulis sebuah artikel tentang pendiri Palang
Merah tersebut, yang pernah bertemu dan mengobrol dengannya ketika mereka
sedang berjalan-jalan di Heiden sebulan sebelumnya. Artikel ini berjudul “Henri
Dunant, pendiri Palang Merah” (Henri Dunant, the founder of the Red Cross)
dan muncul di sebuah majalah bergambar terbitan Jerman, Über Land und Meer.
Dengan segera artikel ini direproduksi di berbagai media lain di seluruh Eropa.
Artikel tersebut mendapat sambutan hangat sehingga Dunant kembali memperoleh
perhatian dan dukungan khalayak. Dia kemudian menerima Hadiah Binet-Fendt Swiss
dan sebuah surat dari Paus Leo XIII. Berkat bantuan dari janda tsar Rusia,
yaitu Maria Feodorovna, dan donasi lain dari berbagai pihak, situasi keuangan
Dunant sangat membaik.
Pada tahun
1897, Rudolf Müller, yang saat itu sudah bekerja sebagai guru di Stuttgart,
menulis sebuah buku tentang asal-mula Palang Merah. Isi buku ini mengubah
sejarah resmi Palang Merah dengan menekankan peran Dunant. Buku ini juga
mengikutsertakan teks “Kenangan Solferino.” Dunant mulai berkorespondensi
dengan Bertha von Suttner dan menulis banyak sekali artikel dan tulisan lain.
Dia terutama aktif menulis tentang hak-hak kaum perempuan. Pada tahun 1897,
Dunant memfasilitasi pendirian “Green Cross” (Palang Hijau), sebuah organisasi
perempuan yang berumur singkat dan hanya aktif di Brussels.
Hadiah Nobel Perdamaian
Pada tahun
1901, Dunant menerima Hadiah Nobel Perdamaian pertama yang pernah dianugerahkan,
yaitu atas perannya dalam mendirikan Gerakan Palang Merah Internasional dan
mengawali proses terbentuknya Konvensi Jenewa. Dokter militer Norwegia, Hans
Daae, yang pernah menerima satu eksemplar buku tulisan Müller itu,
mengadvokasikan kasus Dunant kepada Panitia Nobel. Hadiah tersebut adalah
hadiah bersama yang diberikan kepada Dunant dan Frédéric Passy,
seorang aktivis perdamaian Prancis yang mendirikan Liga Perdamaian dan yang
aktif bersama Dunant dalam Aliansi untuk Ketertiban dan Peradaban (Alliance
for Order and Civilization). Ucapan selamat resmi yang akhirnya diterima
Dunant dari Komite Internasional Palang Merah merepresentasikan rehabilitasi
nama Dunant:
“Tak ada yang lebih layak untuk menerima kehormatan ini,
karena Andalah yang empat puluh tahun yang lalu mendirikan organisasi
internasional bantuan kemanusiaan bagi korban luka di medan tempur. Tanpa Anda,
Palang Merah, yang merupakan prestasi kemanusiaan yang agung abad kesembilan
belas, barangkali tak akan pernah diusahakan.”
Moynier dan
Komite Internasional Palang Merah secara keseluruhan juga dinominasikan untuk
Hadiah Nobel Perdamaian tersebut. Meskipun Dunant memperoleh dukungan dari
kalangan luas dalam proses seleksi, dia tetap merupakan calon yang
kontroversial. Sejumlah pihak berargumen bahwa Palang Merah dan Konvensi Jenewa justru membuat perang menjadi lebih menarik dan menggoda dengan
meringankan sebagian dari penderitaan yang ditimbulkan perang. Oleh karena itu,
Müller dalam suratnya kepada Panitia Nobel menyampaikan pendapat bahwa hadiah
tersebut perlu dibagi antara Dunant dan Passy, yang sempat menjadi calon utama
untuk menjadi satu-satunya penerima hadiah tersebut dalam perdebatan yang
terjadi selama berlangsungnya proses seleksi. Müller juga menyarankan bahwa
sekiranya Dunant dianggap layak untuk menerima Hadiah Nobel, hadiah tersebut
perlu segera diberikan kepadanya mengingat usianya yang telah lanjut dan
kondisi kesehatannya yang sudah memburuk.
Keputusan
Panitia Nobel untuk membagi hadiah tersebut antara Passy, seorang tokoh perdamaian,
dan Dunant, seorang tokoh kemanusiaan, menjadi preseden bagi persyaratan
mengenai seleksi penerima Hadiah Nobel Perdamaian yang berdampak signifikan
pada tahun-tahun berikutnya. Salah satu bagian dalam surat wasiat Nobel
menyebutkan bahwa hadiah untuk perdamaian diberikan kepada orang yang berupaya
mengurangi atau menghapuskan pasukan tetap (standing armies) atau
berupaya untuk scara langsung mempromosikan konferensi perdamaian. Inilah yang
membuat Passy secara alamiah terpilih menjadi calon penerima hadiah tersebut
berkat usaha-usahanya di bidang perdamaian. Pemberian Hadiah Nobel untuk
usaha-usaha di bidang kemanusiaan saja akan menjadi hal yang sangat mencolok,
dan hal tersebut dianggap oleh sejumlah pihak sebagai penafsiran yang terlalu
luas atas surat wasiat Nobel. Akan tetapi, satu bagian lain dalam surat wasiat
Nobel menetapkan hadiah bagi orang yang berprestasi terbaik dalam meningkatkan
“persaudaraan antarmanusia” (the brotherhood of people). Ini secara
lebih umum bisa ditafsirkan sebagai pesan bahwa usaha-usaha kemanusiaan seperti
yang dilakukan oleh Dunant itu juga terkait dengan usaha-usaha perdamaian.
Penerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun-tahun berikutnya yang banyak
jumlahnya itu dimasukkan ke dalam salah satu dari dua kategori yang untuk
pertama kalinya ditetapkan oleh keputusan Panitia Nobel 1901 tersebut.
Hans Daae
berhasil menaruh uang hadiah yang menjadi bagian Dunant, sebesar 104.000 franc
Swiss, di sebuah bank di Norwegia dan mencegah uang tersebut diakses oleh para
kreditor Dunant. Dunant sendiri tak pernah memakai sedikit pun dari uang
tersebut dalam hidupnya.
Kematian dan warisan
Di antara
beberapa penghargaan lain yang diterima oleh Dunant pada tahun-tahun berikutnya
ialah gelar doktor kehormatan dari Fakultas Kedokteran University of
Heidelberg, yang diterimanya pada tahun 1903. Dunant tinggal di
panti jompo di Heiden hingga akhir hayatnya. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya,
dia menderita depresi dan ketakutan (paranoia) bahwa dia terus dicari-cari oleh
para kreditornya dan Moynier. Bahkan Dunant kadang-kadang mendesak juru masak
panti jompo tersebut untuk mencicipi terlebih dulu jatah makanannya di hadapan
dia agar dia terlindung dari kemungkinan diracuni. Meskipun mengaku tetap
berkeyakinan Kristen, Dunant pada tahun-tahun terakhir hidupnya menolak dan
menyerang Kalvinisme dan agama terorganisasi (organized religion) pada
umumnya.
Menurut para
juru rawatnya, tindakan terakhir yang dilakukan Dunant dalam hidupnya ialah
mengirimkan satu eksemplar buku tulisan Müller kepada ratu Italia disertai
surat pengantar dari Dunant sendiri. Dunant meninggal dunia pada tanggal 30
Oktober 1910, dan kata-kata terakhirnya ialah “Kemana lenyapnya kemanusiaan?”
Dunant meninggal hanya dua bulan setelah musuh bebuyutannya, Moynier. Meskipun
ICRC menyampaikan ucapan selamat kepada Dunant atas penganugerahan Hadiah Nobel
tersebut, kedua rival ini tak pernah berrekonsiliasi.
Sesuai
keinginannya, Dunant dikuburkan tanpa upacara di Kompleks Pemakaman Sihlfeld di
Zurich. Dalam surat wasiatnya, dia mendonasikan sejumlah uang untuk menyediakan
satu “ranjang gratis” di panti jompo di Heiden tersebut, yang harus selalu
tersedia untuk warga miskin kawasan itu. Dia juga memberikan sejumlah uang,
melalui akte notaris, kepada teman-temannya dan kepada organisasi amal di
Norwegia dan Swiss. Sisa uangnya dia berikan kepada para kreditornya sehingga
sebagian utangnya lunas. Ketidakmampuan Dunant untuk sepenuhnya melunasi
utang-utangnya menjadi beban besar baginya hingga hari kematiannya.
Hari ulang
tahunnya, 8 Mei, dirayakan sebagai Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Sedunia (''World Red Cross and Red Crescent Day'').
Panti jompo di Heiden yang dulu menampungnya itu sekarang menjadi Museum Henry
Dunant. Di Jenewa dan sejumlah kota lain ada banyak sekali jalan, lapangan, dan
sekolah yang dinamai dengan namanya. Medali Henry Dunant, yang dianugerahkan
setiap dua tahun oleh Komisi Tetap Gerakan Palang Merah dan Palang Merah
Internasional, merupakan penghargaan tertinggi yang dianugerahkan oleh Gerakan.
Kisah hidup
Dunant diceritakan, dengan sejumlah unsur fiksi, dalam film D'homme à hommes
(1948) yang dibintangi oleh Jean-Louis Barrault. Masa hidup Dunant ketika
Palang Merah didirikan ditampilkan dalam film produksi bersama internasional
yang berjudul Henry Dunant: Red on the Cross (2006). Pada tahun 2010,
Takarazuka Revue menggelar drama musikal berdasarkan pengalaman Dunant di
Solferino dan proses pendirian Palang Merah. Drama musikal ini berjudul ソルフェリーノの夜明け (Fajar di Solferino, atau Kemana Lenyapnya
Kemanusiaan?).
Referensi
Buku berbahasa Inggris
- Henry Dunant: A Memory of Solferino. ICRC, Jenewa 1986, ISBN 2-88145-006-7 – full text online: [1]
- Pierre Boissier: [2]History of the International Committee of the Red Cross. Volume I: From Solferino to Tsushima. Henry Dunant Institute, Jenewa 1985, ISBN 2-88044-012-2
- Pierre Boissier: [3]Henri Dunant Henry Dunant Institute, Jenewa 1974, ISBN 2-88044-012-2 •
- Caroline Moorehead: Dunant's dream: War, Switzerland and the history of the Red Cross. HarperCollins, London 1998, ISBN 0-00-255141-1 (Hardcover edition); HarperCollins, London 1999, ISBN 0-00-638883-3 (Paperback edition)
- Peter Masters: Men of Destiny. Wakeman Trust, London 2008, ISBN 1-87-085555-8 (Paperback edition). See chapter 8 - The Man Behind the Red Cross.
Buku berbahasa Jerman
- Eveline Hasler: Der Zeitreisende. Die Visionen des Henry Dunant. Verlag Nagel & Kimche AG, Zürich 1994, ISBN 3-312-00199-4 (Hardcover edition); Deutscher Taschenbuch Verlag, München 2003, ISBN 3-423-13073-3 (Paperback edition)
- Martin Gumpert: Dunant. Der Roman des Roten Kreuzes. Fischer Taschenbuch Verlag, Frankfurt 1987, ISBN 3-596-25261-X
- Willy Heudtlass, Walter Gruber: Jean Henry Dunant. Gründer des Roten Kreuzes, Urheber der Genfer Konvention. 4. Auflage. Verlag Kohlhammer, Stuttgart 1985, ISBN 3-17-008670-7