Translate

Monday, 26 October 2020

PENDIDIKAN SENI RUPA BERBASIS DISIPLIN

 Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin

 

APA ITU PENDIDIKAN SENI BERBASIS DISIPLIN (DBAE)?

“Pendidikan Seni Berbasis Disiplin adalah sebuah pendekatan untuk instruksi dan pembelajaran dalam seni yang menghasilkan konten dari empat disiplin ilmu dasar yang berkontribusi penciptaan, pemahaman, dan penghargaan seni" (Dobbs, 9).

 

EMPAT DISIPLIN:

Ada empat konsep utama dalam DBAE yakni (1) Produk Seni kemahiran dan teknik untuk menghasilkan karya seni. Karya seni sebagaimana kita maklum, dinilai dan diteliti bukan cuma ketika sebuah karya sudah siap tetapi juga bagaimana proses ia dihasilkan.(2) Sejarah Seni. Seni berkembang sejak sekian lama dan terbentuk melalui pelbagai peradaban, kepercayaan, teknologi, budaya, dan ideologi yang turut menghasilkan pelbagai aliran. Perkembangan ini tidak akan berhenti cuma di sini. Ia akan  terus berkembang seiring dengan pemikiran manusia. Sejak penemuan karya-karya seni gua zaman pra sejarah di Perancis sehingga ke avant-garde dan pertembungan budaya timur barat hingga ke era teknologi menciptakan kepelbagaian dalam karya, sudut pemikiran dan pengaruh. Perlu dikaji pencapaian artistik masa lalu dan hadir sebagai motivasi, idola,  gaya atau teknik, dan perbincangan topik, terutama dalam kaitannya dengan budaya, politik, sosial, agama, dan ekonomi peristiwa dan gerakan. (3) Seni Kritik bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan menggambarkan, menginterpretasikan, menilai, teori dan hakimsifat dan kualiti dari bentuk visual, untuk tujuanmemahami dan menghargai karya seni dan pemahaman perananseni dalam masyarakat. (4) Estetika penilaian sifat, makna, kesan dan nilai seni,

 

IMPLEMENTASI DBAE:

• Adopsi Seluruh Distrik- menjamin anak-anak akan mendapatkan manfaat dari seni tersebut. program ini merupakan konsep berkesinambungan, jika mereka pindah dalam distrik sekolah dan menjamin kesempatan yang sama untuk belajar seni bagi semua anak di distrik tersebut.

• Instruksi Reguler- Harus ada minimal satu sampai dua jam instruksi dari minggu sekolah.

• Dukungan Administratif- Harus mempekerjakan personel atau staf yang diperlukan untuk mengajar seni, harus menyediakan persediaan dan sumber daya yang diperlukan untuk mengajar seni dan harus advokat untuk pendidikan seni di distrik tersebut.

• Keahlian Pendidikan Seni- Personil dan staf yang dipersiapkan secara profesional, konsultan, supervisi kurikulum, dan pengembangan staf.

• Evaluasi- Harus mengakses instruksi guru, prestasi siswa dan efektivitas program.

• Sumber Daya Komunitas- Museum seni, pusat seni, dan residensi seniman yang harus dikoordinasikan dengan kurikulum DBAE.

 

DBAE DAN GETTY CENTER SEKARANG

“Kondisinya tepat di awal 1980-an untuk pergeseran teoretis dalam seni pendidikan. Ketika J. Paul Getty meninggal pada tahun 1976, dia telah meninggalkan sebagian besar tanah miliknya kepada J. Paul Getty Trust. Pada saat itu individu-individu dituntut dengan administrasi Trust memutuskan, selain mempertahankan J. Paul Museum Getty, untuk memberikan kontribusi pada seni dan humaniora. Itu Getty Center for Education in the Arts (GCEA) dibentuk pada tahun 1982 untuk ex-dekan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan status pendidikan seni di Sekolah Amerika. Panggung sekarang diatur untuk infus yang belum pernah terjadi sebelumnya energi, sumber daya, dan tulisan dalam pendidikan seni, semuanya terfokus pada satu pendekatan, DBAE. Panggung juga diatur untuk yang belum pernah terjadi sebelumnya dan berapi-api debat akademis. ”(Delacruz, 70)

 

Kurikulum Konten dan Pedagogi

• Kurikulum berpusat di sekitar disiplin ilmu dan terstruktur.

• Model lain untuk mengakses karya seni meliputi: studi sosiologi, antropologi, dan budaya material.

• Getty Center mendorong para guru seni untuk melakukannya menggabungkan pendekatan pengajaran mereka sendiri itu termasuk masalah seni, sosial dan multi budaya.

• Kurikulum berpusat pada anak dan berpusat pada konten tidak terpisah lagi.

Seni Anak-anak

• Ekspresi masa kecil tidak kreatif.

• Tidak mempertimbangkan metode David Lowenfeld Akun.

• Anak-anak yang masih kecil didorong untuk membuat simbol mereka sendiri dan menggunakannya.

Tabel 2 dalam “Evolusi Pendidikan Seni Berbasis Disiplin” oleh Elizabeth Manley Delacruz dan Phillip C. Dunn (72).

PEMBENARAN

• Empat tujuan dasar pengajaran seni di kelas yang disajikan oleh Nasional Endowment for the Arts

- Peradaban

- Kreativitas

- Komunikasi

- Pilihan

• “Misalnya, seni adalah alat penting untuk memelihara pikiran, untuk berkembang fungsi intelektual dan sensorik yang menjadi dasar hampir semua perilaku dan keterampilan didasarkan." (Dobbs, 20)

• “Dengan mempelajari bahasa verbal dan bahasa nonverbal, siswa mendapatkan keuntungan

akses ke jenis pengalaman yang dimungkinkan oleh bentuk visual. " (Dobbs, 20-21).

 

DBAE Seni Rupa

Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin atau Disipline Based Art Education (DBAE) merupakan teori pembelajaran seni yang diperkenalkan oleh The Getty Centre for Education in the Arts pada tahun 1980-an yang menekankan ciri disiplin (ilmu) pada seni rupa dan bukan sekedar pelajaran seni rupa demi seni rupa itu sendiri.

Hasil belajar dalam DBAE harus dapat diamati dan dinilai dengan alat ukur formal (Hamblen, 1993). DBAE menunjukkan perubahan drastic dari pembelajaran seni rupa yang sebelumnya menekankan pada kebebasan bereskpresi, respons kreatif, dan produksi studio. Para tokoh pendidikan berpusat pada anak menolak DBAE dengan alasan bahwa DBAE mengabaikan individualitas, kemungkinan respons artistic yang ideosikratik, dan sifat holistic dari pembelajaran seni rupa. DBAE mendapat kritik bahwa pendekatan ini menekankan seni murni Barat, contoh-contoh karya seni rupa, dan pembelajaran yang formalistic. DBAE menekankan status seni rupa sebagai disiplin, yang menunjukkan bahwa produksi studio, kritik seni, sejarah seni, dan estetika dapat diintegrasikan. Namun demikian, integrasi seni dengan bidang pelajaran yang lain belum dikembangkan. Kritik seni cenderung berupa semacam artistic scanning, yaitu membahas karya seni rupa hanya berdasarkan aspek-aspek sensoris dan ciri-ciri bentuknya. Perhatian hanya terfokus pada karya seni rupa itu senditi dan tidak menyangkut fungsi sosialnya. Selain itu, penilaian dilakukan seperti pada mata pelajaran lain, yaitu tes objektif. 7 Pada tahun 1990-an para pendidik seni rupa melakukan pembaharuan terhadap DBAE dengan menambahkan materi pelajaran seni rupa multikultural.Tanggapan terhadap kritik bahwa DBAE menekankan keterampilan teknik dan kualitas formal, terdapat upaya menjadikan seni rupa lebih inklusif yang kritis secara sosial dan menjadi pelajaran yang meninjau isu perdebatanperdebatan dalam seni rupa. Pembaharuan DBAE lebih besar terjadi setelah adanya kebijakan kurikulum pendidikan yang dibuat oleh guru, dan DBAE kemudian menjadi terbuka bagi interpretasi. Para guru misalnya berdiskusi untuk mengembangkan isi kurikulum dan menyarankan agar program pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan populasi siswa. Teori DBAE yang asli menawarkan kepada pendidik seni rupa sebagai alternatif terhadap banyak rasional instrumental yang biasanya digunakan sebagai justifikasi pelajaran seni rupa, seperti seni rupa untuk meningkatkan skor membaca, mengembangkan kreativitas, dan mengembangkan konsep diri. Dalam kurikulum DBAE seni rupa tidak lagi menjadi pembantu mata pelajaran lain, pengabdi pada pendidikan umum, dan penutup kekurangan-kekurangan yang terdapat pada bidang pelajaran lain. Namun, sementara itu terdapat program yang memberikan seni rupa sebagai pelajaran terpisah dan juga dikaitkan dengan bidang-bidang pelajaran lain, yang dimaksudkan untuk mendukung pembelajaran bidang-bidang pelajaran tersebut. Dalam publikasi resmi DBAE (The J. Paul Getty Trust, 1985) dan kemudian dalam The Role of Discipline-Based Art Education in America’s School (Eisner, 1987), disajikan manfaat kognitif pembelajaran seni rupa. Seni rupa dibahas fungsinya dalam mengembangkan berpikir imajinatif, kemampuan membuat hipotesis, dan kecenderungan toleran terhadap ambiguitas. Namun, dalam publikasi ini, manfaat kognitif seni rupa hanya khusus untuk pelajaran seni rupa, bukan untuk bidang-bidang pelajaran yang lain. Berlawanan dengan publikasi setelah itu oleh The Getty Center (bersama-sama dengan National School Board Association, the National PTA, dan the National Conference of State Legislatures), manfaat kognitif seni rupa dihubungkan dengan pembelajaran bidang-bidang pelajaran yang lain. Seni rupa dinyatakan penting bagi pembelajaran secara umum dengan mengembangkan sebagai berikut: pemecahan masalah, penalaran kritis, keingintahuan, skor tes yang tinggi, berpikir kreatif, kecakapan interpersonal, penghargaan diri (self-esteem), dan keberanian mengambil resiko (risk taking). Pengakuan tersebut biasanya dinyatakan oleh para instrumentalis. Jadi, Neo-DBAE pada tahun 1990-an menunjukkan pelunakan pendirian DBAE dari integritas disipliner dan self-focused pelajaran seni rupa. 8 Penilaian hasil belajar seni rupa dengan cara konsisten dan terfokus merupakan bagian penting sejak lahirnya DBAE. Terdapat pernyataan bahwa pelajaran seni rupa dapat dinilai dengan berbagai cara, tetapi pada tahun 1980-an penilaian difokuskan pada penggunaan tes objektif. Terdapat pernyataan bahwa pelajaran seni rupa harus dinilai seperti pelajaran-pelajaran lainnya, dan bahkan dikembangkan bank soal tes pilihan ganda. Selanjutnya the Getty Center menyatakan bahwa penggunaan tes objektif tidak cukup berhubungan dengan pembelajaran seni rupa dan seharusnya digunakan bentuk-bentuk penilaian yang lebih bersifat kualitatif, misalnya penilaian portofolio. Neo-DBAE memiliki ciri postmodern bahwa pendekatan ini memiliki aspek-aspek multikulturalisme dan pengambilan keputusan secara kolektif. Pendekatan ini tanggap terhadap kebutuhan guru dan siswa dan memungkinkan hasil belajar yang bervariasi. Pembelajaran seni rupa dianggap bersifat holistik dan dapat diintegrasikan dengan bidang pelajaran lain atau digunakan untuk menunjan bidang pelajaran yang lain. Penilaian menggunakan pendekatanpendekatan kualitatif, dan isi kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan atau keadaan tertentu. Dalam buku pegangan DBAE (Dobbs, 1992), pendidikan seni rupa berbasis disiplin adalah suatu pendekatan terhadap pengajaran dan belajar seni rupa yang mengambil isi dari empat disiplin dasar untuk menunjang penciptaan, pemahaman, dan apresiasi seni rupa. Disiplin adalah bidang kajian yang menunjukkan tiga ciri: (1) memiliki body of knowledge atau isi yang diakui, (2) dikaji oleh suatu komunitas sarjana, dan (3) memiliki prosedur dan cara kerja yang khas untuk melakukan eksplorasi dan penyelidikan. Disiplin seni rupa memberikan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman untuk menjadikan siswa memiliki pengalaman yang luas dan kaya dalam seni rupa dalam empat cara: (1) pembuatan karya seni rupa (produksi seni rupa), (2) merespon dan memberikan penilaian tentang sifat-sifat dan kualitas yang terwujud dalam bentuk visual (kritik seni rupa), (3) memperoleh pengetahuan tentang sumbangan seniman dan penciptaan karya seni rupa bagi kebudayaan dan masyarakat, dan (4) bagaimana orang memberikan justifikasi penilaian terhadap karya seni rupa (estetika). Karena merupakan pendekatan dan bukan kurikulum khusus, DBAE muncul dalam bentuk yang bervariasi. Variasi ini misalnya memilih salah satu atau lebih dari disiplin tersebut sebagai disiplin pokok untuk membantu siswa memahami karya seni rupa, mengutamakan lingkungan seperti museum atau komunitas seni rupa, atau mengikuti perkembangan teknologi 9 (misalnya video interaktif). Namun demikian, semua versi DBAE memiliki ciri-ciri tertentu yang sama: (1) seni rupa diajarkan sebagai mata pelajaran dalam pendidikan umum dengan kurikulum tertulis dan berjenjang mencakup isi pelajaran yang berasal dari keempat disiplin dasar seni rupa Pelajaran tersebut membentuk serangkaian pengetahuan kumulatif, pemahaman, dan keterampilan yang memadai untuk dievaluasi; (2) Kemapuan siswa dikembangan untuk membuat karya seni rupa (produksi karya seni rupa), menganalisis, menginterpretasikan, dan mengevaluasi bentuk visual (kritik seni rupa), mengenal dan memahami peranan seni rupa di masyarakat (sejarah seni rupa), dan memahami sifat-sifat dan kualitas unik seni rupa dan bagaimana memberikan penilaian terhadapnya dan memberikan justifikasi penilaian itu (estetika); (3) Seni rupa diimplementasikan di tingkat wilayah (distrik) dengan dukungan pemerintah dan masyarakat, pengembangan staf, sumber-sumber belajar, dan penilaian siswa/guru/program. Dobbs, (1992) menjelaskan disiplin-disiplin seni rupa sebagai berikut: 1. Produksi karya seni rupa: Orang membuat karya seni rupa dengan menciptakan gambar yang memiliki ciri-ciri ekspresif dan estetik. Karya seni rupa menunjukkan kekuatan gambar untuk menyampaikan perasaan, pikiran, dan nilai-nilai, dan berbagai macam makna budaya dan sosial. Produksi kreatif karya seni rupa yang baru melibatkan manipulasi aktif bahan yang dipilih dengan menggunakan berbagai teknik yang memunculkan efek visual yang diinginkan. Orang-orang yang mengerjakan karya tersebut dikenal sebagai seniman dan ia terlibat dalam produksi seni rupa. 2. Sejarah seni rupa: Orang dapat memahami dan menilai sumbangan seni rupa di masyarakat dan kebudayaan dengan mempelajari seni rupa di berbagai konteks sejarah dan mengenal serta mengapresiasi kualitas setiap gaya yang dikembankan oleh seniman secara individual dan kelompok (kelompok seniman yang memiliki kesamaan pandangan atau teknik dalam berkarya). Hal ini memungkinkan karya seni rupa dapat dipahami baik dari segi kualitas estetik maupun pesan dan nilai-nilai yang diteruskan dari masa ke masa dan dari tempat ke tempat kepada generasi penerus dan kepada kebudayaan lain. Sejarah seni rupa adalah kajian ini berusaha memahami berbagai dimensi sejarah, budaya, dan gaya seni rupa. 3. Kritik Seni Rupa: Orang mengamati karya seni rupa dan merasakan pengaruh sifatsifat dan kualitas visual dalam karya seni rupa. Kritik seni adalah kegiatan mengasah kemampuan untuk mengamati karya seni rupa, menganalisis bentuk-bentuk, 10 memberikan interpretasi makna, memberikan penilaian secara kritis, dan berbicara atau menulis apa yang dilihat, dipikirkan, dan dirasakannya tentang karya seni rupa. 4. Estetika: Orang merenungkan pengalaman yang diperoleh dari pengamatan karya seni rupa, pengaruh dan maknanya. Penilaian terhadap karya seni rupa ditentukan oleh pemahaman tentang makna nilai-nilai seni rupa, ciri-ciri karya seni rupa, dan unsurunsur yang menjadikan keunikan pengalaman tersebut. Anak dan juga para filosof serta ilmuwan sosial memiliki keingintahuan yang besar dan mengajukan pertanyaanpertanyaan tentang seni rupa. Hal ini menunjukkan bahwa mereka melakukan kajian estetika, walaupun dengan kosa kata yang berbeda, Dalam implementasinya kurikulum DBAE mungkin berbeda-beda dari segi penekanan, detail, jenis kegiatan, contoh-contoh karya seni rupa dari berbagai budaya, dan aspek-aspek yang lain, tetapi semuanya memiliki ciri-ciri yang sama sebagai berikut: 1. Pelajaran yang tertulis, yang menjamin bahwa kegiatan pembelajaran dalam setiap tingkat kelas telah direncanakan dan dikoordinasikan dengan tingkat kelas yang lain. Hal ini memberikan kesinambungan dan menjadikan keberhasilan dalam program pelajaran seni rupa sebagai keberhasilan program itu sendiri dan bukan disebabkan oleh perubahan-perubahan siswa secara alami. 2. Pengorganisasi pelajaran secara berjenjang mencerminkan proses pembelajaran pemerolehan konsep sederhana sebelum konsep yang lebih kompleks, yang menjadikan siswa dapat membangun pengetahuannya, keterampian, dan pemahamannya sendiri, dengan cara yang jelas dan logis. 3. Karya seni rupa yang dihasilkan seniman dari berbagai budaya sangat penting bagi pengorganisasian kurikulum dan mengintegrasikan isi dari disiplin-disiplin seni rupa (produksi seni rupa, kritik seni rupa, sejarah seni rupa, dan estetika). Penggunaan karya seniman dewasa untuk kajian seni rupa dalam DBAE didasarkan pada kompetensi dan kekuatan yang melekat pada pada karya-karya tersebut untuk menghasilkan pemahaman tentang karya seni rupa. Dalam berkarya siswa dapat memanfaatkan inspirasi dan gagasan yang dikembangkan oleh seniman dewasa berdasarkan berbagai sumber sejarah, sosial, dan budaya, termasuk karya seni rupa yang terdapat di museum atau reproduksinya. 11 4. Isi yang seimbang di antara keempat disiplin seni rupa mencerminkan perhatian dan penghargaan terhadap berbagai cakupan seni yang member sumbangan bagi pengalaman siswa. Alokasi waktu dan perhatian yang disediakan bagi masing-masing bidang disiplin ini tergantung pada bentuk kurikulum DBAE yang digunakan, yang ditentukan berdasarkan pertimbangan dari aspek populasi siswa, sumber-sumber belajar, dan penekanan program pendidikan. Perlu ditekankan bahwa isi kurikulum DBAE harus diintegrasikan dari gagasan, bahan, dan sumber-sumber lain pada keempat disiplin seni rupa. 5. Kegiatan belajar yang tepat sesuai perkembangan diorganisasikan untuk mengoptimalkan pembelajaran siswa daan mengetahui pembelajaran yang tepat dan tingkat perkembangan. DBAE dapat disusun secara konsisten dengan seluruh pengetahuan yang telah dimiliki pendidik seni rupa dan pendidik lain tentang bagaimana anak tumbuh dan belajar dalam seni rupa. Sebagai contoh, guru dapat menyesuaikan DBAE dengan kebutuhan gender, ekonomi, dan budaya siswa. Peningkatan kompetensi siswa dalam mencipta, memahami, dan mengapresiasi seni rupa melalui pengajaran DBAE merupakan landasan DBAE. Oleh karena itu, penilaian prestasi belajar merupakan bagian integral dari program tersebut. Hasil penilaian merupakan umpan balik yang pentig bagi guru dan pengelola sekolah tentang kualitas pengajaran dan umpan balik pada pengembang kurikulum tentang efektivitas program (Dobbs, 1992). Pendidik seni rupa biasanya menolak testing standar yang berusaha mengkuantifikasikan perilaku siswa dalam seni rupa, dan memilih menggunakan pengukuran yang lebih kualitatif dan subjektif untuk menilai karya siswa. Pendekatan portofolio memerlukan guru untuk membuat penilaian kualitatif tentang perkembangan karya seni rupa dalam suatu rentang waktu, mempertimbangkan baik bentuk maupun isi dari karya ini dan juga kemampuan siswa dalam melakukan pengangan teknis bahan seni rupa. Pendekatan penilaian ini mengutamakan karya siswa sebagai ukuran akhir dari pelajaran seni rupa. Namun demikia, pendekatan yang komprehensif terhadap seni rupa memberi kesempatan kepada siswa untuk menampilkan kemampuan dan mencapai prestasi dalam beberapa cara, tidak hanya kemampuan yang tercermin pada produksi karya. Oleh karena itu, meskipun cocok untuk DBAE, pendekatan portofolio 12 studio tidak cukup memenuhi tugas guru untuk menilai bagaimana siswa memahami dan mengapresiasi karya seni rupa (Dobbs, 1992). Tidak seperti bidang pelajaraan lain, untuk penilaian dalam pelajaran seni rupa tidak terdapat penggunaan secara luas teknik atau instrumen penilaian, terutama untuk tingkat dasar, dalam disiplin sejarah seni rupa, kritik seni rupa, dan estetika. Lebih-lebih lagi, tidak ada National Assessment of Education Progress (NAEP) untuk seni rupa (Dobbs, 1992). Namun demikian, mengingat pentingnya menentukan apa yang dipelajari siswa dalam pelajaran seni rupa dan untuk membangun kredibilitas kurikulum di mata para penguasa sekolah, dewan sekolah, dan orang tua, sekarang telah mendorong pengembangan instrument penilaian yang memadai untuk tiap-tiap mata pelajaran, termasuk seni rupa. Biasanya tiap satuan pelajaran mengandung bagian evaluasi, dengan format yang berisi: (1) pertanyaan diskusi, (2) pertanyaan perbandingan (dengan slide atau reprouduksi lainnya), (3) esai tertulis, (4) portofolio, dan (5) latihan berkarya (Dobbs, 1992). Implementasi program pendidikan berbasis disiplin bervariasi sesuai dengan kedaaan daerah dan situasi lingkungan. Variasi ini terutama berkaitan dengan ketersediaan sumbersumber belajar yang ada di masyarakat, yang dapat dibagi menjadi jenis sebagai berikut: 1. Orang. Ketersediaan seniman yang bekerja di masyarakat, kritikus seni rupa di koran lokal, dosen sejarah seni rupa dan estetika, termasuk dosen yang mengajar antropologi, sosiologi, dan psikologi seni di perguruan tinggi memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan kontak langsung dengan para ahli di bidangnya, yang dapat membahas dan menunjukkan sumbangan-sumbangan bidang kajiannya bagi pemahaman dan penciptaan karya seni rupa. 2. Tempat. Masyarakat yang memiliki musem, galeri seni rupa, dan studio seniman memberi kesempatan kepada siswa untuk berkunjung dan melakukan kontak langsung dengan karya seni rupa dan orang yang membuat, mengkaji, memelihara, mengoleksi, dan memamerkannya. Tempat lainnya yang menjadi sumber belajar seni rupa adalah perpustakaan, rumah kolektor seni rupa, tempat umum yang menampilkan karya seni patung, dan arsitektur local. 3. Peristiwa. Banyak masyarakat yang memiliki festival seni rupa yang melibatkan partisipasi seniman. Museum menyediakan pameran, diskusi atau film yang terkait dengan pameran dan peristiwa-peristiwa seni rupa interdisipliner, di mana bentuk- 13 bentuk visual dieksplorasi bersama-sama dengan pertunjukan atau bentuk-bentuk seni sastra. Sumber informasi yang penting tentang peristiwa seni rupa lokal adalah koran atau majalah lokal, yang memuat kalender peristiwa seni rupa, tinjauan kritis, dan latar belakang seniman lokal dan pameran-pameran.

Tuesday, 13 October 2020

WHY THE ARTS MATTER

 

 

Why the Arts Matter

The VAPA Framework outlines very specific ways in which educators can conceptualize arts program development, curriculum design and implementation across the grades. It provides, through its guiding principles, some strong stances regarding how such programs should serve California students across the grades. It puts forth rationale that is deliberately arts-specific. The VAPA  Framework assumes that the arts are essential and core and does not spend time on providing rationale or advocacy statements for the inclusion of the arts in the school curriculum. All of that being said, in many places under trying conditions, educators, school board members and community people who are highly supportive of the arts are turning to some very broad-based arguments in favor of the arts and what they bring to the learning experience of students. Many are interesting, pragmatic “value-added” arguments in support of including the arts in school curricula at all levels. Arguments can revolve around the more broadbased “competencies” that have come to be associated with participation in dance, music, theatre, and the visual arts. These competencies are sometimes described as “habits of mind” and are put forward by arts educators, academics, decision and policymakers and, recently, the business community. Some value-added arguments put forward in the past few years make claims about the contributions the arts can make to enhanced academic performance. These various points of view are discussed in the rest of this section. Habits of Mind

Arts educators have always paid attention to changes in educational philosophy and effective instructional innovations, particularly when such changes are driven by research about how children learn. A wide range of learning advantages through study of the arts is generally identified and validated in such studies. Arts educators and all educators who understand the value of the arts in the life of our students, also pay attention to broader trends and shifts in thinking that support the view that the arts are, or should be, part of the core curriculum.

Some of these viewpoints on the value of the arts in education are rooted in broad studies of teaching and learning in education. In 2000, Arthur Costa and Bena Kallick submitted proposed theories on “habits of mind” that identified 16 dispostions that incline a person to use thinking tools and strategies that assist them in achieving success when faced with problems or dilemmas where solutions are not readily apparent. These habits of mind are rooted in a modern view of intelligence that maintains that a critical attribute of intellegence is not only having information, but also knowing how to act on it. Habits of mind that contribute to this intellegence are: persisting, thinking and communicating with clarity and precision, managing impulsivity, gathering data through the senses, listening with understanding and empathy, creating, imaging and innovating, thinking flexibly, responding with wonderment and awe, thinking about thinking (metacognition), taking responsible risks, striving for accuracy, finding humor, questioning and posing problems, thinking independently, applying past knowledge to new situations, and remaining open to continuous learning. Employing these habits of mind requires developing certain patterns of intellectual behavior that produces powerful results and are a composite of many skills, attitudes, and inclinations including value, inclination, sensitivity, capability, and committment. Theodore Sizer, art history professor at Yale University, dean at Harvard Graduate School of Education, and founder of the Coalition of Essential Schools, studied educational reform in high schools, and also supported these habits of mind, and promoted “habits” of perspective, analysis, imagination, empathy, communication, committment, humility, and joy. These studies have led to other current research related to teaching and learning in the arts disciplines.

Studio Habits of Mind

Current Harvard Graduate School of Education researchers, Ellen Winner and Lois Hetland, have also been engaged in research on the “Studio Thinking Project” which focuses on visual artist’s studio habits of mind and their implications for the classroom. This project funded by The J. Paul Getty Trust, the Ahmanson Foundation, and the U.S. Department of Education, is in phase 3 of three phases of study. As developmental psychologists, Winner and Hetland’s research in phase 1 studied expert teaching in the arts, analyzed what was taught and what teachers intended students to learn. In the course of their research, they discovered that teachers were teaching eight important and potentially generalizable habits of mind: the dispositions to observe, envision, express, reflect, stretch and explore, engage and persist, develop craft, and understand the art world. They also discovered 3 classroom structures that teachers used to teach the eight categories of learning-demonstration/lecture, students working, and the critique process.The second phase of their study has been an analysis of learning in the visual arts and will result in an assessment tool for assessing Studio Thinking in the eight Studio Habits of Mind.

Phase 3 of their current work, is in documenting how 15 elementary and middle school teachers in disadvantaged public schools in Oakland learn to use the Studio Thinking Framework, in conjunction with the Teaching For Understanding Framework and other Harvard Project Zero frameworks. The purpose of this study is to design arts interventions to reach underachieving students, with the hope of instilling in these students some of the studio habits of mind.This suite of studies will ultimately provide teachers of the visual arts, specialists, generalists, and researchers, valuable tools for further investigation of arts learning. This initiative was described in the March 2008  issue of the School Administrator and has been shared among the country’s school superintendents with the author’s hopes of “changing the conversation about the arts in this country.”

Daniel Pink: A Whole New Mind

Daniel Pink, in his book, A Whole New Mind:Moving From the Information Age to the Conceptual Age (2005), states that we are moving from the logical, linear, computer-based Information Age to a “Conceptual Age” in our economy and society, one where “creativity, innovation, empathy and big-picture thinking will be rewarded and recognized.” The subtitle of the book is “Why right-brainers will rule the future.” Not only arts advocates and educators have picked up on this theory, but also those in the business community. Pink says that MBAs are a dime a dozen and that the most valued degree in business right now is the MFA—the Masters of Fine Arts degree. This major shift in business thinking comes because jobs that those with MBAs used to do have been outsourced and business leaders have recognized that their biggest competitive edge is their ability to produce products that are “physically beautiful and emotionally compelling.” Think about the brand new iPad™, for example. Certainly left-brain skills must be maintained, but six right brain aptitudes must be mastered as well, according to Pink.

Pink’s “six senses” include design, story, symphony, empathy, play and meaning. Design is critical to every business product so that it is more user-friendly and beautiful. No wonder business is now hiring people from the Rhode Island School of Design, the Art Institute of Chicago and the Cranbrook Academy of Art as often as engineers. “Story,” Pink describes as “context enriched by emotion.” Certainly this is the essence of theatre. Facts are there for free, but “story” will remain essential. It is the emotional element that makes information stick. A recent story in the Slate on-line magazine makes this point very convincingly. Sociologists and social anthropologists from Harvard to Berkeley believe that The Wire, the highly acclaimed HBO TV drama series, has something to teach their students about poverty, class, bureaucracy and the social ramifications of economic change. Asked why he was teaching a class around a TV drama, Harvard sociologist  William J. Wilson said the show “makes the concerns of sociologists immediate in a way no work of sociology he knows ever has.” Wilson said, “Although The Wire is fiction, not documentary, its depiction of the systemic urban inequity that constitutes the lives of the urban poor is more poignant and compelling than that of any published study, including my own.” (Story appeared in Slate, written by Drake Bennett, 3/24/10).

Pink uses the metaphor of a “symphony” to describe his next sense. Symphony is about the power of relationships between people and ideas. The “conceptual age” will need those who can see connections between seemingly unrelated ideas and who are able to multi-task. These will be the people who can apply their knowledge of music to business concepts or mathematics, or who can take their sense of ensemble into the business world.  This may be obvious to music educators who understand that students who are part of a band or orchestra or choir must, by necessity, learn to collaborate and understand relationships, both musical and personal. The cast of a musical or play knows this idea well. Next comes empathy, which is considered essential as an attribute of leadership, which will be in even higher demand in the future. The arts have always provided views into the emotional world of the artist through choreography or visual images or musical compositions or theatrical productions. In asking students to search for meaning in the arts forms, an empathetic connection between the artist and the audience is found.

Although Pink generally connects his ideas about the necessity of play to pure laughter and to video games (which he takes quite seriously), teachers of young students understand play as one of the purest and most basic ways that children learn. Children explore their world and their feelings and make meaning by pretending (later to be drama), moving to rhythm and music, learning patterns and rhymes to music, and making things, especially visual images through drawing, painting and constructions. The Reggio Emilia approach to early childhood education (which will be discussed in a later section) uses all these aspects of play as the basis for all their learning activities with children. The problem in education is that we remove play as a pedagogical strategy way too soon. We shouldn’t remove it at all! Pink asserts it is necessary all along the way.

Finally, in his list of six senses for the conceptual age, is “meaning.” Pink says that as a society we are on a “high energy search for meaning,” or the basic desire to find purpose and meaning in one’s life. Certainly the arts have always been about expanding, focusing and finding meaning, and making meaning through the medium of dance or music, visual image or theatrical event. The job of the arts is to represent meaning beyond words, beyond number and to touch the emotions as well as the intellect. Viktor Lowenfield, a noted art theorist and practitioner from the 1950s, introduced this theory and viewed the art process in a global context, encouraging art educators to “fan the flames of the human spirit.” He felt that art contributed to a child’s creative and mental growth, and included facets such as facilitating self-expression, promoting independence, encouraging flexible thinking, and facilitating social interactions, as well as developing aesthetic awareness.

 

21st Century Learning Framework

Recently support has come from the Partnership of 21st Century Skills, a national organization that advocates for the “integration of skills such as critical thinking, problem solving and communication into the core of academic subjects that include English/ Language Arts, world languages, the arts, mathematics, economics, science, social studies and geography.” The member organizations are a “who’s who” of large innovative businesses such as Apple, Hewlett Packard and Microsoft, and educational partners Language Arts, world languages, the arts, mathematics, economics, science, social studies and geography.” The member organizations are a “who’s who” of large innovative businesses such as Apple, Hewlett Packard and Microsoft, and educational partners including the Educational Testing Service (ETS), The Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD) and the National Education Association (NEA).

The Partnership of 21st Century Skills is a response to the belief that “The current and future health of America’s 21st century economy depends directly on how broadly and deeply Americans reach a new level of literacy – 21st century literacy, that includes strong academic skills, thinking, reasoning, teamwork skills and proficiency in using technology.” The approach is intended “to serve as a bridge across public, business, industry, and educational sectors through common definitions and contexts for skills most needed by students and workers in the emerging digital age.” The bottom line is to prepare students for the world beyond the classroom. The 21st Century skills are to be integrated “within the context of rigorous academic standards,” and assessed through multiple measures.

Many of the so-called 21st century themes—learning and innovation skills, information, media and technology skills and life and career skills acknowledge and build upon the broad-based competencies discussed earlier—are certainly possible outcomes of engagement in one or more of the arts disciplines. Especially relevant to the arts are the skills associated with creativity and innovation, including working creatively with others, the critical-thinking and problem solving skills, the global cultural literacy skills and the media literacy skills that include all elements of new media, mostly visual and auditory, that can influence beliefs and behavior. The approach also values many of the “habits of mind” identified by Lois Hetland as outcomes of work in the studio (in the broadest understanding of the term) such as flexibility and adaptability, initiative and self-direction, and working effectively and responsibly in diverse teams. Taken as a whole, and considering its current influence in today’s economic climate, ideas set forth by the 21st Century initiative are bound to be helpful in crafting a very powerful value-added rationale for the centrality of the arts.

Not everyone is taken with this approach. Some education scholars are challenging the ideas, saying that the 21st Century Skills agenda is “taking a dangerous bite out of precious classroom time that could be better spend learning deep, essential content.” (USA Today article on 21st Century Learning Skills, 3/15/09). However, recently a Massachusetts task force concluded, “straight academic content is no longer enough to help students compete” and urged the state education commissioner to add 21st century skills to the curriculum and teacher training. All of this seems to go back to Eisner’s ideas about the “visions and versions” of arts education that will be the focus of the next section of this guide. Eisner says we assume that “the aims to which a field is directed are given by the field itself: mathematics has aims defined by mathematics, scientific studies aims defined by science…But this is only partly so. The aims to which a field is directed is not just the result of judgments of ‘visionary minds’ and personal arguments, but of the social forces that create conditions that make certain ideas congenial to the times.” And what could be a more timely and “congenial” rationale for arts education than their essential role in developing the content and competencies held to be vital for our students, and thus, the country to have the competitive advantage in our 21st century global society?

 

Using the Arts to Promote Academic Performance

Arguments in favor of including the arts as part of a comprehensive education come in and out of favor and usually say something about the times in which we live. The rationale of using the arts to promote academic performance has become highly popular over the past few years. It seeks to justify arts education by showing that the arts contribute to boosting academic performance in the so-called basics. The prominence of this argument shows in many ways what it is that is valued, and that is certainly academic performance in today’s world of high-stakes testing. The claim is that the more arts courses students take, the better they will do in school. It’s “the arts can make you smarter” approach. This idea doesn’t come from nowhere. There is data, from large-scale surveys, that does show that high school students who take a course in one or more of the arts get significantly higher SAT scores. Many other claims linking academic achievement and the arts have been made.

James Catterall’s Critical Links: Learning in the Arts and Student Academic Achievement and Social Development 2002 explored much of this territory. The book is a guide to research on learning in the visual arts, music, drama, dance, and programs enlisting multiple art forms. Scholars summarize more than 60 studies and outline the contributions to knowledge of each. In addition, two expert researchers comment on each study. The book offers a concluding chapter on general issues surrounding the transfer of learning from the arts. According to Catterall’s own summary of the book, “The work traces the many skills which the arts touch and cultivate—skills that show up as outcomes in more than one art form: such as literacy, mathematics, and science skills along with student motivation and social competence.”

Another take on Critical Links comes from its insights regarding for whom the links between the arts and human development are in fact the most critical. Caterall says, “I refer here to a clear focus in many of the compendium’s studies on children at risk —the millions of children in America’s urban centers, and children in poverty across the nation.” Catterall characterizes the implications of the book as unambiguous: “The arts contribute in many ways to academic achievement, student engagement, motivation, and social skills. Notions that the arts are frivolous add-ons to a serious curriculum couldn’t be farther from the truth. While education in the arts is no magic bullet for what ails many schools, the arts warrant a place in the curriculum because of their intimate ties to most everything we want for our children and schools. Critical Links identifies many arrows pointing in positive developmental directions.

Critical Links puts forth a very attractive argument in favor of arts education and it is clear why this is so. There have been so many efforts to improve school performance over the years and yet there has been no clear or sustainable progress. Educators may be forgiven for thinking they have tried everything, so why not the arts? Arts educators themselves find this arts and academic achievement argument attractive, if for no other reason than the attention it commands, especially after they have been marginalized for so many years.

Critical Links was bound to produce some pushback from other researchers and arts education theorists. The Dana Foundation published Learning, Arts, and the Brain: The Dana Consortium Report on Arts and Cognition in March of 2008. This report questions the research methods of prior studies, and warns about the need to distinguish between correlation and causation. The main part of the Dana study consists of the research of neuroscientists on very particular correlations between study in various arts forms and certain kinds of behavior. Its findings are narrow and very cautious; very cautious as the title of the introduction to the document suggests: “Arts and Cognition, Findings Hint at Relationships.” (Italics added). The study certainly does indicate that the question of why arts training has been associated with higher academic performance is an important one and worth of further study. Dana suggests many areas of study to pursue in the future, some extensions of research into the whole area of the arts ability to enlarge cognitive capacities beyond what is learned in and through the arts taught for their own sake.

Eisner, too, warns about the potential problems of using the “arts and enhanced academic performance” argument if the data do not clearly and unambiguously support such assumptions. He asks, “What happens to the reasons for a field’s place in the schools if research shows that such claims are overblown, or that evidence to support them is weak, or that other approaches to boosting academic test scores are more efficient?” What, indeed. On one of the national news broadcasts, there was a story about how a district had found a strong relationship between being active—exercise, and physical movement in PE classes and improved attention and test scores for high school students. It makes one wonder if PE is the next “arts” in this pursuit to find something to boost academic performance beyond the academics themselves.

It is likely, however, that the arts will, in the long run, be shown to have a significant relationship to cognitive development that can’t help but improve performance in many aspects of schooling, especially in areas like motivation, attention, focus, short- and long-term memory, sequential learning, observational skills, and the manipulation of information. The Dana Foundation suggests that there be much more hard research in these areas. The arts are, after all, cognitive. That is not in question. For all of the “broader-based competencies” discussed in this section, arts education should, as Eisner says, “Give pride of place to what is distinctive about the arts. Arts programs should try to foster the growth of artistic intelligence.”

So why do the arts matter? They probably matter for all the preceding reasons, rationales and arguments discussed in this section. Those that are totally artscentric and those that are a large, big-vision construct about where our global culture is headed.

The following charts provide information discussed in this section and throughout the guide.

The “Why the Arts Matter” table brings together a number of rationales from educators and organizations about the value of arts education. The views expressed are based primarily (but not entirely) upon the intrinsic value of the arts—on “arts for arts sake,” or, as Eisner puts it, about rationales that give “pride of place to what is distinctive about the arts.” In this chart, these reasons for valuing arts education have been placed under the five VAPA content strands. The Connections, Relationships and Applications strand here has been widened to include what Hetland calls “habits of mind” associated with study of the arts, which is a reasonable extension of the ideas of this strand.

It is interesting to note that the last two, Americans for the Arts, and Eloquent Evidence, begin to shift toward arts advocacy statements and as they do, they tend to emphasize the more “broad based” or “value added” justifications which dominate the next chart, “The Value of the Arts from the Perspective of Broader Learning Outcomes.”

This chart shifts the perspective from an “arts-centric” point of view to one that looks at bigger themes and concerns, many embedded in current ideas about the thinking and the skills that will be necessary to succeed in today’s global society. The ideas that have been included here are those that are most relevant to arts education and not the complete version of several of the entries. The descriptors of the VAPA content strands are included on this chart to remind us of the broader meaning of each. A sixth (and unoffical) “strand” called “Capacities and Habits of Mind” has been added here, distinct from the connections strand. In several entries, large, essential ideas are relevant across all of the strands.

Saturday, 10 October 2020

RANGKUMAN PENCAHAYAAN DALAM FOTOGRAFI



# Pengertian

Adalah penerangan atau pemberian cahaya yang ditujukan untuk menerangkan suatu objek foto atau keseluruhan ruangan.

 

 

# Fungsi

Menyinari obyek

Membuat tampilan gambar yang artistik

Menciptakan efek khusus

Menghilangkan bayangan yang mengganggu

Pemilihan bagian yang dilihat penonton

Membentuk persepsi

Mengungkapkan bentuk

Menciptakan gambaran yang wajar

Membuat komposisi

Menciptakan suasana

Memperbaiki mood 

Memisahkan ruang.

 

 

# Macam Arah dan Efek

Pengertian arah pencahayaan adalah bagaimana memposisikan sumber cahaya terhadap objek yang akan difoto. Sedangkan efek pencahayaan adalah menyangkut akibat yang ditimbulkan dari memposisikan sumber cahaya tersebut terhadap objek yang akan kita potret.

 

Front Light (Pencahayaan Dari Arah Depan)

Sumber cahaya terletak di depan objek foto. Kita letakkan lampu di belakang atau berdekatan dengan posisi kamera. Sudut antara objek foto dan kamera tidak lebih dari 15 derajat. Pencahayaan ini akan menghasilkan foto yang relatif tanpa bayangan, sehingga tercipta efek yang mengurangi tekstur benda yang kita foto. Pencahayaan front light ini biasanya digunakan untuk menonjolkan make-up model serta untuk menampilkan objek foto dengan kuliut halus dan warna make-up yang natural.

Contoh :

 

 

Side Light (Pencahayaan Dari Arah Samping)

Pencahayaan dari arah samping dapat dihasilkan bila sudut sumber cahaya, posisi objek foto dan posisi kamera adalah 45-90 derajat. Side light dapat diletakkan di samping kiri atau kanan objek foto. Efek yang dihasilkan adalah menonjolkan bentuk dan permukaan atau tekstur obyek foto ini. Ini disebabkan karena bayangan yang kuat dari sumber cahaya. Efek ini dipakai bila kita ingin menampilkan profil dan menonjolkan lebih banyak karakter dan profil objek yang kita foto. Misalnya pada foto-foto potrait.

Contoh :

 

 

Top Light (Pencahayaan Dari Arah Atas)

Ini dilakukan dengan menempatkan sumber cahaya di atas objek yang akan kita foto sehingga arah cahaya jatuh dari atas. Arah pencahayaan ini akan memberikan efek yang dramatis. Efek top light dapat dibandingkan dengan cahaya matahari yang trepancar pada tengah hari. Top light sangat baik digunakan pemotretan still life (benda alam) dan pemotretan makanan untuk ilustrasi tulisan tentang resep makanan dalam majalah. Hampir semua fotografi makanan menggunakan metode ini.

Contoh :

 

 

Bottom Light (Pencahayaan Dari Arah Bawah)

Sumber cahaya yang diletakkan di bawah akan menghasilkan arah pencahayaan yang disebut bottom light atau base light. Cara pencahayaan seperti ini banyak digunakan sebagai fill-in light (cahaya pengisi) untuk mengurangi kontras dari main light (cahaya utama). Pencahayaan seperti ini efektif digunakan untuk pemotretan still life.

Contoh :

 

 

Back Life (Pencahayaan Dari Arah Belakang)

Pencahayaan dari arah belakang ini disebut sebagai back lighting. Arah sumber cahaya ini letaknya berlawanan dengan posisi kamera. Posisi sumber cahaya diletakkan di belakang obyek, dipantulkan atau langsung mengenai obyek. Efek yang dihasilkan secara umum akan menciptakan siluet, atau objek dikelilingi oleh rim light yakni cahaya yang ada di sekitar objek foto. Perlu diperhatikan juga bahwa cahaya yang langsung mengenai kamera akan menimbulkan pantulan cahaya dan flare (masuknya cahaya yang tidak diinginkan). Untuk itu arah sumber cahaya dari belakang perlu dikontrol dengan baik.

Contoh :

 

 

 

# Jenis

Side lighting

Sesuai dengan namanya side yaitu samping yakni cahaya yang arahnya datang dari samping menimpa subjek/lokasi tertentu. Cahaya ini akan menghasilkan kontras serta shadow/bayangan yang panjang.

Back lighting

Back light merupakan cahaya yang datangnya dari arah belakang sehingga melewati subjek kemudian mengenai kamera kita. Cahaya jenis ini mampu menghasilkan siluet yang baik.

Rim Lighting

Rim lighting merupakan cahaya yang datang pada sudut 135 derajat yang dibentuk oleh kamera, subjek dan sumber cahaya. Tipe cahaya ini akan memperkuat outline, dimana area depan subjek akan nampak gelap sedangkan tepian akan nampak terang.

Ambient light

Ambient light merupakan cahaya lingkungan yang tidak bertujuan menerangi subjek secara langsung. Banyak digunakan di hotel maupun plafon rumah, Cahaya jenis ini mampu memberikan kesan romantis.

Cahaya terdifusi

Cahaya terdifusi merupakan cahaya yang tersaring. Cahaya ini dihasilkan darif lash eksternal yang bagian ujungnya ditutup menggunakan diffuser sehingga cahaya yang dihasilkan lebih lembut, lebih minim shadow dan tentunya tidak seterang cahaya langsung.

Cahaya pantulan

Cahaya pantulan atau lazim disebut dengan bounce light didapatkan dengan cara memantulkan cahaya flash ke suatu permukaan dan pantulannya akan menimpa subjek dengan lebih lembut.

Cahaya buatan/artificial light

Begitu luasnya cakupan cahaya buatan yakni segala cahaya yang dihasilkan dari sumber cahaya selain matahari. Jadi jenis flash apapun, cahaya studio, lampu. stobe dll.

Cahaya alami

Cahaya matahari merupakan satu-satunya sumber cahaya alami yang sampai dibumi.

Cahaya campuran

Dalam banyak kondisi kita bisa menggunakan cahaya campuran yakni cahaya matahari yang dipadukan dengan cahaya buatan untuk menyinari subjek, seperti fotografi portrait di waktu golden hour, atau portrait menggunakan flash untuk memberikan cahaya fill in yang berfungsi menghilangkan shadow dibawah terik matahari.

 

 

# Karakter

Hard Light:

Adalah cara kita mensetting pencahayaan di lokasi dengan menerapkan sistem bahwa sumber cahaya yang jatuh ke permukaan subjek di buat dengan perbandingan intensitas antara cahaya yang keras dan cahaya yang lemah cukup tinggi. Karena cahaya yang jatuh menjadi focus pada titik tertentu maka hal ini memberikan dampak pada bagian bayangan akan terlihat sangat jelas. Sehingga akan menimbulkan efek kontras yang sangat tinggi.

Contoh :

 

 

Soft Light

Adalah cara kita menset pencahayaan di lokasi dengan menerapkan sistem bahwa sumber cahaya yang jatuh ke permukaan subjek di buat dengan perbandingan antara cahaya yang keras dan cahaya yang lemah cukup rendah. Karena perbandingan yang sangat kecil ini cahaya menjadi rata sehingga bayangan akan terlihat halus atau tidak ada sama sekali.

Contoh :

 

 

 

# Implementasi

Metode teknis pencahayaan

Direct Light: Sebuah metoda dalam menerapkan jatuhnya sumber cahaya secara langsung di arahkan ke permukaan subjek. Dari penerapan seperti ini akan terlihat jelas arah datangnya sumber cahaya.

Contoh :

 

Reflected Light: Sebuah metode dalam menerapkan jatuhnya sumber cahaya tidak secara langsung tetapi dengan mengarahkan ke bidang lain sehingga cahaya yang jatuh kepermukaan subjek adalah cahaya pantulan. Karena cahaya menjadi halus dan rata maka tidak terlihat jelas arah datangnya.

Contoh :

 

 

Metode pemanfaatan sumber cahaya

Available Light: Cahaya yang sudah ada di set/lokasi dengan kondisi permanen dan dimanfaatkan untuk pengambilan gambar. Kondisi putaran waktu yang mempengaruhi cahaya bisa dimanfaatkan baik malam maupun siang (Night-Day)

Contoh :

 

Artificial Light: Adalah cahaya buatan yang mampu dipakai atau memang khusus dibuat untuk kebutuhan pengambilan gambar namun tidak menghilangkan kesan NATURAL.

Contoh :

 

Practical Light: Sumber cahaya yang kita dapati dari cahaya lampu meja, lampu jalanan, lampu kendaraan atau juga lampu kamar, dst dan di gunakan untuk keperluan pengambilan gambar.

Contoh :

 

Pictorial Light: Penerapan pencahayaan dengan kesan BEAUTY ada keseimbangan antara key light, fill light, back light dan background light.

Contoh :

 

 

 

 

# Sumber

https://pengertianmenurutparaahli.org/pengertian-lighting-dalam-fotografi/

lhttps://pakarkomunikasi.com/fungsi-pencahayaan-dalam-bidang-sinematografi#:~:text=Terdapat%2012%20fungsi%20pencahayaan%20yaitu,%2C%20membuat%20komposisi%2C%20menciptakan%20suasana%2C

lhttp://rudytahu.blogspot.com/2013/10/arah-efek-pencahayaan-fotografi.html#:~:text=Perngertian%20arah%20pencahayaan%20adalah%20bagaimana,objek%20yang%20akan%20kita%20potret.

https://www.azzamalfatih.com/9-jenis-cahaya-dalam-fotografi/

https://andreyuris.wordpress.com/2012/01/12/tentang-pencahayaan-dalam-fotografi/

https://id.pinterest.com/