LAKI-LAKI SEJATI
Cerpen Putu Wijaya
Seorang perempuan
muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati
itu seperti apa?
Ibunya terkejut. Ia
memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis
jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak
itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja
kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.
Sepasang matanya yang
dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap.
Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan
yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih
berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita
di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.
Kenapa kamu
menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.
Wajah gadis itu
menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal
yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah
dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang
muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia
kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami.
Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka
ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik
napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.
Jangan malu, anakku.
Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran
untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun
sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri,
pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang
tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu
berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah
sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu
kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu
akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak
menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku,
mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?
Sebab di dalam mimpi,
kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai
kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di
situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?
Ibu tidak akan bicara
tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan
pikiran. Antara harapan dan kenyataan.
Aku selalu memisahkan
itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali
bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi,
ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya
bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang
menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang
diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu
bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat
semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah
siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak
sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.
Ibu memejamkan
matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di
mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.
Laki-laki yang
sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang
laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan
ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.
Bagus, Ibu hanya
berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan.
Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki
sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku,
lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati
itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati
adalah…
Laki-laki yang
perkasa?!
Salah! Kan barusan
Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya
karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati
hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus
oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang
bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?
Bukan karena ampuh,
bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi
laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah
dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi
laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan
rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena
dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin
sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh
pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi,
selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya
karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati
hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau
jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang
pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan
seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki
sejati!
Kalau begitu apa
dong?
Seorang laki-laki
sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas
didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang
pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang
pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya
dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu
tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki
sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa
dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu
terpesona.
Apa yang lebih dari
yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu
memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu
mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati
lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar
erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh, gumannya
terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam
penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu.
Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?
Ibu tidak menjawab.
Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi
bertambah penasaran.
Di mana aku bisa
berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena aku akan
berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk
menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari
anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku
kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau
semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut.
Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku
akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk
merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan
merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda
itu turun naik.
Apa salahnya sekarang
wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami
perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu
membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di
mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas
panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela
nafas sepanjang itu?
Karena kamu
menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki
sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda
itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis?
Kenapa?
Laki-laki sejati
seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu
menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?
Ya. Sekarang yang ada
hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual.
Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar,
kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa
dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang
ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana
dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan.
Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan
menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi
laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki
sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak
berguna itu.
Gadis itu termenung.
Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan
lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau
begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus
asa?
Karena apa gunanya
lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali
mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu terlalu muda,
terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang
dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara
segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang
mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan
di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam
perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku,
cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu
lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk
ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam
rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau
jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak
membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!
Tidak cukup! Kamu
harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu
melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu
menggeleng.
Tidak ada gunanya,
karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar.
Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan muda itu
tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan
buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam
kedua telinganya, lalu keluar kamar.
Matahari sore
terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru
menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah.
Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir
ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang
mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan
matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari
rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki di
jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata
terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya,
apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya.
Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan
ia teman hidupmu!
Perempuan muda itu
tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal,
lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku,
asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh
mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu
tercengang.
Dan lebih dari itu,
lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya
dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang
perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap
perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun
dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya,
seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang
sejati! ***
Guruji
Cerpen Dewi Lestari
Ada yang janggal dari
wajahmu, tapi aku tak pernah memberi tahu. Jejak cambangmu yang kehijauan
setelah habis bercukur. Itu aneh. Kulitmu bening bersemu merah seperti bayi,
bibirmu merah berkilap seperti dioles gincu, dan kacamata itu hadir sedemikian
rupa membuatmu seperti anak baru lulus sekolah dasar. Kamu tak seharusnya
memiliki cambang. Aku yang lebih pantas. Tapi hidup terkadang buta menentukan
siapa yang layak dan tidak. Kamu selalu membuatku merasa kurang perempuan. Ada
yang mengganjalku sejak dulu, tapi aku tak pernah memberi tahu. Dulu aku menduga
kamu banci. Kamu terlalu ramah dan hangat untuk seorang laki-laki. Berbicara
denganmu mengundang sampah hatiku untuk muntah keluar. Sesama perempuan dengan
mudah menjadi pencahar rahasia dan gelisahku. Tapi tidak pernah laki-laki. Kamu
menelanjangiku tanpa penawar rasa malu.
Dan kendati aku ingin
menempel padamu seperti benalu, mengisap balik rahasia dan gelisahmu, satu kali
pun belum pernah aku menuai sesuatu. Ketenanganmu, kendalimu atas intonasi dan
gejolak emosi, membuatku merasa kurang adab. Kurang manusia. Dari baris-baris
kalimatku tadi, aku memilih sepotong yang terakhir. Kutuliskan pada kertas yang
tadi dibagikan dan sekarang sudah harus dikumpulkan. Tercetak di sana dengan
tulisan komputer: Apa pendapat Anda tentang Guruji? Lalu terteralah tulisan
tanganku: Kurang manusia. Di pojok kanan bawah, tercetak kembali tulisan
komputer: Tidak usah menuliskan identitas. Seusai pelatihan Emotional Healing
yang merupakan sesi terakhir pelatihan sepekan ini, Guruji dan anak buahnya
membaca hasil angket tadi, dan sesuai prediksiku, mereka tahu itu aku.
Bisik-bisik dan
tatapan tidak terima merajami dari kiri-kanan saat aku berjalan melewati
muridmurid senior Guruji. Mereka, yang sudah duluan menjadi pelatih dan kelak
mewarisi padepokan ini. Statusku masih trainee. Dan sepertinya akan mentok
sampai di situ. Berbeda dengan mereka, Guruji menyambutku dengan tatapan
hangat, bersahabat, penuh kasih. Sebagaimana ia menatapku bulan kemarin,
kemarin lusa, atau lima menit yang lalu. 'Ari. Silakan masuk. Tolong pintunya ditutup,'
katanya dengan ritme bicara seperti lagu ninabobo. Anggun, ia melepaskan
kacamata minusnya, meletakkannya di meja. Guruji, tidakkah kamu merasa aneh?
Nama kita sama. Tapi kamu laki-laki, aku perempuan. 'Barangkali tujuan kamu
baru tercapai kalau diberi kesempatan untuk bicara langsung,' lanjutnya lagi.
'Bicara tentang apa?' 'Tentang saya. Tentang kamu. Tentang kita.' Nadanya
meninggi di ujung-ujung kata, seolah-olah ia bertanya. Begitulah caranya
memindahkan bola. Membuatku menjadi pihak yang seolah-olah menginginkan
pertemuan ini. Refleks aku menoleh lagi ke pintu, memastikannya benar-benar
tertutup. 'Ari Guruj Ari... ini tidak wajar! Untuk memanggilmu saja aku
bingung!' hardikku langsung. 'Kamu boleh panggil aku apa saja. Aku tidak akan
bingung.
Selama hati kamu yang
memanggil, aku akan tahu siapa yang dimaksud.' Refleks berikutnya, tanganku
terangkat, menahan banjiran kalimat bijaknya. 'Stop. Stop! Mari kita sama-sama
menjadi Ari yang biasa, oke?' 'Memangnya ada yang kamu lihat tidak biasa?' Ingin
kucengkeram kerah bajunya, kuguncang-guncang hingga kepalanya membentur-bentur
tembok seperti berlatih bola basket, dan kuteriakkan ini: aku kangen. Manusia
yang paling kau rindu ada di hadapanmu dan tetap tak kau temukan apa yang kau
cari. Tidakkah itu membuat siapapun ingin gila? Tiga tahun yang lalu aku masih
bisa mencengkeram bajunya, kadang kutanggalkan dengan sopan, kadang brutal.
Tergantung besaran dan jenis energi yang hinggap, katanya menganalisa. Dan kami
berdua selalu berkomitmen untuk pasrah dan manut terhadap apapun yang kami
rasa. Ari memang bukan manusia standar.
Aku tahu itu sejak
pertama kali kami bertemu, menyebutkan nama masing-masing, lalu tertawa berdua.
Seketika sorot matanya menangkap sorot mataku, bersama kami tenggelam dalam
sebuah lautan ingatan, dan dia bergumam, 'Kita pernah bertemu.' Waktu itu, aku
tidak terlalu paham maksudnya, tapi kuputuskan untuk ikut arus, dan kubalas
ucapannya dengan: 'Apa kabar? Ke mana saja selama ini?' Kami tidak berpisah
sedetik pun sesudah itu, dia bahkan bermalam di rumahku. Ari melihat-lihat dan
membolak-balik koleksi bukuku, dari mulai teknik melihat aura hingga perjalanan
astral. Ia memainkan kartu-kartu Tarotku yang beraneka ragam, dari mulai Tarot
malaikat sampai vampir. Ia memperhatikan dengan saksama bagaimana caraku
melipat selimut dan membentangkan seprai di atas sofa untuknya tidur. Lagi, ia
bergumam, 'Kamu nyaris tidak berubah.
Aku benar-benar
pulang ke rumah.' Dan malam itu dia tidak jadi tidur di sofa. Sofa kastanya
tamu, dan Ari bukan tamu. Dia penghuni rumah. Dia penghuni hatiku. Hanya saja
dibutuhkan seperempat abad untuk ruang dan waktu mewujudkannya. Ari selalu
tertarik pada penyembuhan, di bidang itulah permatanya berkilau gemilang.
Tangannya yang lentik dan halus telah mengubah hidup banyak orang. Hanya
masalah waktu dia menjadi Ari yang sekarang. Sang Guruji. Dia bahkan mengubah
namanya dengan bahasa Sansakerta yang tak bisa kuingat dan kuucap dengan baik.
Dulu, kami dikenal dengan sebutan Duo
Plasenta. Ari-Ari. Yang satu menyembuhkan, yang satu merecoki. Dan mereka, para
pemuja Ari si penyembuh, yang penampilannya santun-santun dan religius,
memandang jengah kadang iri padaku, perempuan aneh bergaya Gypsy yang disayang
Ari lebih dari apapun dan siapapun. Kalau jawara Gunung Kawi jimatnya gelang
akar bahar, maka jimat Ari adalah aku. Jadi jangan pernah meremehkan
penggembira yang satu ini, cibirku dalam hati. Hingga tibalah momen yang mereka
semua harapkan. Manusia tak ayal berevolusi, dan hidup ini tak pelak mengubah
kanal alirannya jika memang sudah waktunya.
Dan Ari melakukan itu
dengan tiba-tiba, seketika. Hari itu hari cinta, Valentine's Day, dan aku dapat
order baca Tarot selama dua hari di luar kota. Saat aku pulang, Ari sudah tidak
ada. Tak ada satu pun barangnya yang tertinggal, ia mengemas semuanya rapi.
Plasentaku, jiwaku yang terbelah, pergi tanpa pesan selain beberapa helai anak
rambutnya yang menyisa di bantal. Keterhubungan kami sudah sampai pada level
telepatik. Ari selalu percaya aku mampu tahu isi hatinya tanpa perlu komunikasi
verbal. Ia lupa, mengetahui tidak selalu berarti paham dan sepakat. Aku tak
pernah memahami apalagi setuju atas kepergiannya. Dan lantas ia mengharapkanku
rela? Let go, let flow, katanya satu hari, saat bertemu tak sengaja di restoran
vegetarian langganan kami. Tanpa bisa menjelaskan lebih rinci. Saat itu, aku
makan sendirian dengan baju hitam-hitam. Dia ditemani lima belas orang berbaju
putih yang semua wajahnya bercahaya akibat rutin meditasi. Inilah misteri yang
perlu kujawab, yang menjadi motor penggerak hidupku setiap hari sejak Ari
pergi: apakah kerelaan bisa lahir tanpa adanya perkawinan lebih dulu antara
memahami dan menyepakati? Ari berubah menjadi hantu dalam rumahku, hantu dalam
hatiku. Semua tentangnya kudapat dari tangan kedua; cerita orang-orang, artikel
majalah, carikan surat kabar. Semua tentangnya tiba padaku dalam bentuk rekaman
dan bayangan.
Mengikuti pelatihan
di padepokannya adalah perjudianku yang terakhir. Upaya maksimalku untuk
menjawab teka-teki yang ia tinggalkan bersama helaian anak rambut di bantal.
Sungguh aku tidak peduli apa yang kupelajari seminggu ini. Aku hanya ingin
mencari Ari, plasentaku, dalam wujud manusia yang mereka sebut Guruji.
Setiap malam dalam
sepekan ini aku pulang dalam tangis tak terkendali. Ari sepertinya memang sudah
tidak ada. Manusia kurang manusia bergelar Guruji itu bukan dia. Jadi, haruskah
kerelaan ini kulahirkan paksa tanpa adanya benih pemahaman yang lebur bersama
kesepakatan? Bagaimana mungkin hidup bisa begitu tidak alamiah? Setiap malam aku
mengeluarkan sehelai plastik dari laci meja riasku dan bertanya-tanya, kapankah
bisa kulepaskan benda itu ke tempat sampah? Anak rambutnya, yang kukumpulkan
dengan pinset dan kusimpan setahun lebih sudah. Bagian nyata dari Ari yang kini
punah. 'Apa yang kamu inginkan dari aku, Ari?' Guruji bertanya layaknya pada
anak yang memelas minta mainan. Aku mencoba bertelepati, dan rasanya seperti
menabrak dinding. Aku terus mencoba, dan mencoba, hingga mataku berkaca-kaca.
Bahkan ketenangannya meluruhkan kemampuanku bicara. Siapa kamu? Siapa kamu? Aku
berteriak-teriak dalam hati. Airmata mulai berlinangan di pipiku. Kembali aku
menangis tanpa isak, hanya banjiran air yang dipompa mata tanpa bisa distop.
Bedanya, kini aku
menangis tidak hanya bertemankan plastik berisi rambut, melainkan di hadapan si
empunya rambut yang sudah menggunduli kepalanya licin seperti biksu. Dia, yang
dulu sebulan sekali creambath di salon, kini tak lagi menyentuhkan tangannya
untuk bersalaman. Guruji yang sejak tadi menatapku dengan datar mulai
mengerdip, beberapa detik ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Hatiku
seketika melonjak, dan tanpa berpikir kurengkuh wajahnya, kupelototi kedua
matanya, 'Ari? Apakah itu kamu?' Sesaat kutemukan gejolak yang kukenal. Sesaat
kutemukan jejak emosi. Sesaat dia kembali menjadi cerminku. Namun seperti badai
yang reda seketika oleh tongkat ajaib, cepat ia kembali tersenyum tipis, dan
dengan gerakan tenang terkendali melepaskan tanganku yang menangkupi wajahnya.
'Ari... lepaskan saya seperti saya melepaskan kamu. Hanya dengan begitu kamu
tidak pernah kehilangan saya. Kamu tidak pernah kehilangan apapun,' ucapnya
setengah membisik. 'Aku cuma ingin tahu, mana Ari? Apa kabar dia? Ke mana saja
selama ini?' balasku, tersengal. Isak itu mulai menyusul hadir. Tangisku
melengkap. 'Bahkan sedetik yang lalu pun kita bukan manusia yang sama,'
jawabnya, tapi mata itu menatap ruang kosong di balik punggungku. Kami terdiam.
Lama.
Hanya isakanku dan
embusan napas panjang teraturnya yang menghidupkan ruangan itu. Perlahan kusadari
sesuatu, inilah perpisahan yang kucari. Utang karma kami yang belum lunas.
Hantu yang mengejar-ngejarku setahun lebih. Aku hanya ingin mengucap selamat
tinggal pada belahan jiwaku yang telah menemukan keutuhannya dalam dirinya
sendiri. Aku dan rumahku adalah persinggahan yang harus ia tempuh, tapi bukan
untuk ia miliki. Kakiku pun bergeser, beringsut hendak meninggalkannya. Misteri
ini kuanggap usai. Tak ada lagi detektif pengintai. Kamu bebas, Ari, Guruji,
siapapun namamu. Kamu bebas. Namun tangan halus itu tiba-tiba menahanku. 'Kamu
punya lima menit untuk melakukan apapun yang kamu mau,' ia berkata. Aku
terenyak. Air muka itu... sorot matanya... seperti air bah yang menelanku
tiba-tiba. Ari yang kucari ternyata masih ada. Berlindung di balik topeng
Guruji. Atau justru Ari-kah topeng yang barusan dikenakannya lagi agar urusan
kami tuntas? Rinduku yang sudah mengerontang bagai Sahara tahu-tahu dibalas
dengan limpahan air Niagara. Aku betulan tidak siap. Tubuhku terkunci.
'Apapun... kamu bisa melakukan apapun....' bisiknya lagi. Seketika tanganku
melayang, mengambil sebuah bantal yang terhampar mengelilingi kami, dan aku
mulai memukulinya. Bertubi-tubi. Ari tersungkur, tak melawan, tak melindungi
diri.
Tanganku terus
melayang memukulkan bantal, sekuat tenaga, sekuat segala perasaan yang tersisa,
sekuat hantunya yang bercokol di rumah serta hatiku dan sekarang kuusir pergi.
Tangan kiriku menyambar satu lagi bantal dan kupuli dia dengan kedua tangan.
Habis-habisan. Ia terlentang tak berdaya di lantai kayu beralas tikar, pasrah
menerima setiap pukulanku. Dan terus kuhujani dia tanpa jeda, tanpa ampun,
hingga lenganku tiba-tiba berhenti. Tubuhku mengisyaratkan cukup. Terengah dan tersengal aku bangkit
berdiri. Ari perlahan juga bangkit, merapikan kemeja linennya yang kusut bukan
kepalang, dan ia mulai kembali bersila dengan posisi lotus. Pipinya basah.
Beberapa butir airmata masih tersembul dari pelupuknya. Badannya gemetar.
'Guruji,' aku menunduk dan memberikan salam namaste. Ia membalas dengan gerakan
serupa. Lalu tangannya membentang, menunjuk pintu, menyilakanku keluar. Pintu
membuka. Kulewati mereka yang kini menatapku dengan lebih takjub lagi.
Mataku yang merah
sisa menangis, rambutku yang acak-acakan, bajuku kusut masai, tapi ada
ketenangan yang tak tertandingi siapa pun sore itu. Tak juga Guruji. Semua ini
hanya topeng yang dipakai dan ditanggalkan kapan saja kita mau. Kumusnahkan
kedok kami barusan. Kuhancurkan hingga berkeping-keping. Ari dan Ari dan
Guruji. Dan kini aku kembali menjadi aku, siapapun itu, aku tak tahu. Aku
hidup. Aku utuh. Itu saja.
Bertepuk Sebelah
Tangan
Cerpen Nh. Dini
Suara sunyi malam
mulai datang suara angin mengalun berhembus, lampu seperti semakin temaram
walau sebenarnya tidak meredup. Hanya saja Nina sudah merasa sangat terkantuk,
kelopak matanya ingin mengatup, dan matanya tak kuasa menahan beban
kelelahannya. Terkadang kantuk itu menguat membuatnya hanyut sebentar namun
tidak lama ia tersadar dan meneruskan kegiatannya. Sudah tiga jam dia
mengerjakan tugas rumahnya, tugas Fisika. Mata pelajaran paling tajam dari pada
matematika, dengan rumus-rumus rumit berselang-seling. Ditambah dengan guru
pengajarnya yang galak dan tegas pada setiap murid yang tidak mengerjakan
tugasnya, ia akan memberikan hukuman seperti dikeluarkan selama pelajaran atau
mengerjakan soal di papan tulis sampai bisa dan dilarang melihat rumus.
Pelajaran SMA paling
menyeramkan pikirnya dalam hati, Nina lalu membalikkan referensi buku yang ia
pinjam dari perpustakaan tadi siang. Sebenarnya ia jarang meminjam buku disana
hanya saja ada sebuah alasan. Seseorang yang ia suka, Hafid terlihat olehnya
memasuki perpustakaan saat ia dan Putri baru saja membeli jajanan di kantin.
Terpikir olehnya bahwa ia ingin menyapa walau hanya sebentar mungkin bisa
mengobati hatinya yang rindu melihat wajahnya, ia mengajak putri memasuki
perpustakaan dan menulis daftar hadir pengunjung. Putri berjalan mendahuluinya
sedangkan ia mencari dimana Hafid berada, ia menyusuri jajaran buku, tangannya
menyentuh deretan buku tapi matanya berkeliaran mencari Hafid. Nina bahkan
melupakan sahabatnya yang sedang sibuk duduk di bangku memilih-milih buku untuk
dibacanya.
Akhirnya terlihat
olehnya seseorang, ia hapal betul postur tubuhnya, tercium olehnya buku-buku
usang yang sudah berwarna kuning dimakan waktu. Dilihat olehnya Hafid sedang
berbungkuk mencari buku-buku dalam sebuah kardus-kardus yang tersusun,
sepertinya buku-buku dalam kardus itu sudah akan dibuang karena sudah uzur.
Terdengar olehnya suara kardus yang tersetuh lengan Hafid dan suara buku yang
disimpannya kembali kedalam.
“Sedang apa kak?”
Nina yang tepat di belakangnya siap memperlihatkan senyum termanisnya.
“Oh.. Nina, ini lagi
nyari buku. Kata Bapak perpus buku yang kakak cari ada disini. Di tumpukan buku
usang.” Hafid berdiri dan memegang buku di tangannya, buku itu terlihat usang
dengan robekkan dan coretan tak berarti di covernya.
“Sedang cari buku?”
Hafid bertanya membuat Nina terkejut harus menjawab apa.
“e..e.. ia lagi nyari
novel Kak,”
“suka novel ya?
Pernah baca karya NH.Dini?”
Nina menggeleng.
“Coba baca deh,
novelnya sederhana tapi menurut Kakak berkesan” Nina mengangguk, lalu Hafid
pergi setelah sebelumnya meminta izin pada Nina.
Walau hanya sekejap
pertemuan tadi siang dengan Hafid, ia sudah sangat senang. Entah perasaan apa
itu? ia sedang jatuh cinta. Cinta yang entah keberapa kalinya ia sekarang
sedang menjomblo, namun kali ini berbeda Nina menutup diri dan memendamnya.
Tidak ada yang tahu bahwa ia mencintai seorang ketua OSIS, bukan karena ia
malu. Namun ia hanya ingin membuat Hafid terkesan dan akhirnya jatuh cinta
padanya. Cintanya kali ini berbeda, sungguh hanya ia yang tahu. Namun cinta ini
memiliki kesamaan dengan cinta sebelumnya, ia tidak bisa tidur kerena
memikirkannya, ia selalu melamun memikirkannya dan bahkan akhir-akhir ini ia
menjadi rajin akibat motif cintanya kepada Hafid, itu pengaruh jatuh cinta yang
bagus. Terang saja Nina merasa sangat bergairah saat belajar akhir-akhir ini,
ia merasa malu jika ia mendapatkan nilai jelek. Hatinya selalu mengira-ngira
bagaimana kalau Hafid tau bahwa dirinya payah dalam hal prestasi di kelas, saat
itulah timbul semangat dalam dirinya.
Hafid adalah seorang
laki-laki yang sopan dan terlihat cerdas apalagi saat ia berbicara, tidak salah
dia terpilih menjadi ketua OSIS. Ia seorang lelaki yang mudah bergaul dan tidak
pilih-pilih dalam berteman. Perawakannya tinggi dan kurus, dengan senyum yang
selalu mewarnai wajahnya.
Jam dinding tua di
ruangan tengah berbunyi dua belas kali, namun matanya kini sudah bisa
beradaptasi dengan suasana ditambah secangkir moccacino yang ia buat sendiri.
Namun ia sadar ia harus tidur. Nina mampu terjaga setelah dalam hatinya
teringat Hafid, ‘mungkin ia juga sedang belajar’ pikirnya. Tugas Fisika itu
sudah hampir selesai, ia sibuk menghapus, menulis, mengotret dengan banyak
sisa-sisa kotoran penghapus yang sudah menyebar di buku catatannya. Ia menulis
jawaban terakhirnya, merapihkan peralatan tulis dan buku catatannya lalu
memasukannya ke tas. Nina mengambil cangkir Moccacino-nya dan meneguk minuman
Mocca terakhirnya, ia beranjak menuju kamar mandi dan menggosok giginya. Lalu
pergi ke tempat tidur mengistirahatkan diri sambil mengucap doa.
Pagi terasa lain hari
ini, entah apa yang akan terjadi. Sesuatu seperti mengganggu hatinya namun
apakah itu? ia bertanya-tanya dalam hati. Nina berusaha menghilangkan perasaan
itu dan cepat menyibukkan dirinya dengan berangkat ke sekolah. Pagi itu cerah,
matahari bahkan menerangi bumi sangat awal, kehangatannya menemani angin pagi
yang masih berhembus. Nina berjalan menyusuri jalan gang, baru saja ia turun
dari angkot hijau. Biasanya ia melewati gang untuk sampai ke sekolah walau ada
jalan lain yaitu jalan raya utama, kau tahu juga alasannya karena Hafid. Ia
selalu melewati gang ini. Beberapa kali Nina beruntung bisa berjalan bersama
atau bahkan hanya saling sapa, ada kepuasan tersendiri dalam hatinya. Namun
pagi ini berbeda, Hafid tidak tampak melewati gang.
Sesampainya di kelas
ia duduk di depan, sahabat dan sekaligus teman sebangkunya sudah terlihat
dengan beberapa alat tulis dan catatan di mejanya. Suasana kelas sudah tampak
gaduh, Nina baru sadar karena hari ini ada tugas Fisika. Biasanya ia juga sama
dengan teman-teman yang lain, mondar-mandir sebelum jam masuk mencari teman
yang sudah menyelesaikan tugas lalu menyontek jawaban teman yang baik dan
malang. Namun kali ini ia tidak melakukannya, ia sudah berusaha keras sampai
tengah malam untuk mengerjakannya.
“Tugas Fisikanya
sudah selesai?” Putri bertanya dengan wajah sayu seperti kelelahan.
“Sudah, aku berusaha
keras tadi malam” Nina menunjukkan senyum bangganya.
“Aku sudah berusaha
mengerjakan, tapi tidak ketemu hasilnya” Putri menghapus catatan yang
ditulisnya mungkin jawabannya belum tepat. Nina termenung tidak biasanya Putri
kali ini kesulitan mengerjakan tugas pikirnya.
“Sini aku bantu” Nina
mendekatkan diri ke arah putri duduk, agar bisa menjangkau catatan dan
alat-alat tulis. Sampai bel masuk berbunyi, suasana menjadi sunyi. Murid-murid
terlihat rapi dan sikap taat yang dibuat-buat karena terihat dari jendela Ibu
Mira pengajar Fisika berjalan menuju kelas.
Dentam bel berbunyi,
menyuarakan sebuah nada bel yang khas tanda waktu istirahat para murid.
Siswa-siswi disibukkan dengan kesibukkan masing-masing, makan, mengobrol,
membaca, mengerjakan tugas dan lain-lain. Nina dan putri berjalan menuju
kantin, mereka berencana membeli beberapa gorengan Bu Entin yang juga istri
penjaga sekolah. Itulah kebiasaan mereka selalu bersama-sama kemanapun, seperti
tidak pernah terpisahkan. Sejak kelas satu mereka selalu bersama, bahkan sampai
sekarang mereka kelas dua selalu saja duduk sebangku. Nina sudah menganggap
Putri seperti saudaranya sendiri, dimana ada Nina pasti disana ada Putri, jika
tidak mungkin mereka sedang bertengkar itulah yang dikatakan teman-teman
mereka. Putri lebih dari sahabat baginya, selalu menemani disaat suka dan duka,
bersedia mendengarkan cerita-ceritanya tentang keluarga ataupun tentang
pacar-pacarnya. Putri adalah perempuan yang menarik menurut Nina, ia tertutup
dalam mesalah cinta ia bahkan tidak percaya dengan pengakuan Putri bahwa ia
belum memiliki pacar sampai sekarang. Wajahnya cukup cantik dengan tubuh
mungil, rambut panjangnya terlihat sering di ikatnya katanya agar tidak
menganggu saat sedang belajar. Putri orangnya susah untuk ditebak, ia pendiam
tapi bersikap tegas dalam mengambil keputusan, Putri juga terlihat sering
membela dirinya dan membantunya dalam mengerjakan tugas yang dianggapnya sulit.
Mereka duduk di depan
Perpustakaan sambil memakan jajanan gorengan, Nina dan Putri saling berpandangan
dan mengobrol kadang tiba-tiba mereka tertawa bersama mengingat pelajaran
fisika tadi, ada kejadian menarik. Bu Mira tiba-tiba mengatakan akan mengadakan
ulangan, tadi. Sontak siswa-siswi protes dan tidak setuju dengan keputusan Guru
Fisika itu. Namun bukan Bu Mira namanya kalau tidak menuai kontroversinya dalam
hal mengajar yang terbilang ekstrem, Ibu bilang ‘Ibu sudah pernah berkata pada
kalian, untuk belajar bukan karena hanya ada perkerjaan rumah saja, tapi setiap
hari karena saya akan selalu mengadakan ulangan secara mendadak’. Dengan
terpaksa siswa-siswi yang terlihat pasrah mengeluarkan kertas selembar yang di
perintahkan Bu berparas cantik namun terlihat sangar jika marah, sementara Bu
Mira sudah menulis soal-soalnya di papan tulis. Tiba-tiba terdengar suara ketuk
pintu, ternyata seorang guru piket yang menyampaikan ada rapat di ruangan guru,
semua guru harus hadir saat itu juga. Bu Mira berhenti menulis soal di papan
tulis, ia lansung mengambil alih pembicaraan dan berkata bahwa ulangan diundur
disaat siswa-siswi sudah berteriak riuh karena lega untuk sementara mereka
selamat. Bu Mira lalu pergi membawa tas dan peralatannya yang menandakan bahwa
rapat akan menghabiskan semua jam pelajarannya di kelas 8C.
Di tengah obrolan
yang masih mengarah pada pelajaran Fisika, Hafid dan seorang temannya melintas
di hadapan Nina. Hafid dan temannya melihat dan menyapa ke arah Nina, Nina
langsung semangat menyapa Ketua OSIS pujaannya. Sementara Putri terlihat
malu-malu saat Hafid lewat, ia menunjukkan sikap tidak seperti biasa. Nina
bertanya-tanya melihat sikap sahabatnya itu, ‘apa mungkin Putri juga menyimpan
rasa pada Hafid?’ namun pikiran itu ditangkisnya, sahabatnya itu terlalu pemalu
untuk suka pada seseorang pikirnya. Nina juga yakin Putri mengerti bahwa ia menyukai
Hafid walau Nina tidak pernah menceritakan perasaannya itu. Baginya mungkin
perilakunya pada Hafid mungkin cukup untuk membuat Putri paham kalau ia
menyimpan rasa padanya.
Bel tanda masuk
berbunyi, Nina dan Putri berjalan menuju kelas mereka. Kelas sudah penuh sesak,
teman-teman mereka riuh bercampur ribut seperti kebiasaan istirahat. Tiba-tiba
Ketua kelas Nina berdiri di depan kelas, ia meninggikan suaranya bersiap
mengeluarkan teriakannya untuk menghentikan kebisingan kelas.
“Mohon perhatiannya..”
Kata Johar dengan nada bijaksana yang sepertinya ia buat sebulat mungkin. Seisi
kelas langsung menghentikan kesibukkan mereka, suasana kelas menjadi hening.
Mereka sudah siap menerima informasi yang akan disampaikan Sang ketua kelas.
“Hari ini, kalian di
bubarkan. Karena ada kepentingan rapat para guru, tapi kalian harus tertib dan
jangan ribut” Johar lalu melangkah maju menuju tasnya, sepertinya ia akan
segera pulang. Teman-teman yang lain juga begitu, mereka senang karena
dipulangkan lebih awal. Sebagian siswa sudah meninggalkan kelas sementara yang
lain masih dalam kesibukkannya, mereka biasa berdiam dulu dalam kelas
merapihkan pakaian seragam mereka atau berdadan terlebih dahulu sebelum pulang.
Nina mengambil cermin dari tasnya, ia memperhatikan wajahnya barang kali ada
kotoran menempel pada wajahnya. Sementara Putri hanya berdiam diri
memperhatikan Nina dan menunggunya selesai sebelum akhirnya mereka pulang
menuju gerbang sekolah.
Putri menggeser
kursinya lebih dekat dengan posisi Nina yang masih asyik bercermin.
“Nin aku mau cerita,
boleh?”
“Boleh” Nina
mengangguk, lalu memberikan senyum ke arah putri.
“Tapi ini rahasia”
Putri melirik-lirikan matanya ke arah teman-temannya yang masih cukup banyak
dalam kelas namun tampak tidak terlalu memperhatikan mereka berdua. Nina lalu
mengangguk meyakinkan sahabatnya agar mempercayainya menyimpan rahasia apapun
padanya. Nina menduga-duga, kira-kira rahasia apakah yang akan Putri ceritakan
padanya, baru kali ini Putri bermain rahasia-rahasiaan biasanya ia yang selalu
seperti itu.
“ini tentang Hafid”
jantung Nina terasa berhenti saat mendengar nama itu terucap dari mulut
sahabatnya yang kalem itu. Nina menghentikan kegiatannya bercermin, kini ia
tertarik dengan ucapan Putri.
“Dia nembak aku tadi
malam” Nina terlihat kaget mendengarnya, terucap di bibirnya kekagetan itu
seakan tidak percaya perkataan sahabatnya. Putri kini terlihat menunduk mungkin
malu memperlihatkan wajahnya yang merah pada Nina. Ekspresi Nina jadi tidak
karuan, ia berusaha mengatur napasnya, hatinya seperti sakit tertekan entah
oleh apa. Ada beban di hatinya yang begitu perih terasa. Apa yang terucap dari
mulut Putri sulit untuk ia cerna dalam pikirannya. ‘Hafid nembak Putri’ hatinya
terasa amat perih mendalam, matanya mulai berkaca-kaca tapi ia berusaha agar
Putri tidak memperhatikannya. Ia tahu Putri ingin mengabarkan kabar gembira ini
padanya, Nina sudah pernah mendesaknya agar ia mempunyai pacar. Dan kini ada
seseorang yang mengatakan cinta padanya, seharusnya sebagai sahabat ia harus
ikut senang merasakan kebahagian sahabatnya. Walaupun orang yang dicintainya
yang menembak sahabatnya, walau kenyataan ini memang perih ia harus siapa
menerimanya. Ia mencoba menabahkan hatinya terlihat Putri masih menyembunyikan
wajahnya menunduk lalu tersenyum-senyum tanda bahagia di hatinya.
“Lalu bagaimana
jawaban kamu?” Nina akhirnya bisa berucap walau ada sesuatu yang berat meganjal
dadanya.
“Aku ingin minta
pendapatmu” Putri lalu memegang bahu Nina, Nina terlihat agak gemetar walau ia
dengan susah payah berusaha tabah.
“Me.. menurutku ia
baik, Ketua OSIS lagi, terima saja Put,” Nada bicara Nina mulai gemetar ia
menahan air mata yang mulai berembun menyelimuti matanya, napasnya terasa mulai
tidak beraturan, mengapa begitu sakit pikirnya.
“Baiklah, aku akan
bilang malam ini jawabannya” Putri tersenyum terlihat sangat bahagia, baru kali
ini Nina melihatnya begitu sangat bahagia, ia sadar bahwa sahabatnya itu sedang
jatuh cinta.
“Put, aku duluan ya,
soalnya ada perlu disuruh jemput adik” Nina beranjak dan mengambil tas
selendangnya dengan tangan yang masih gemetar, rasa sakit di hatinya tidak
dapat terbendung lagi. Matanya sudah berkaca-kaca dan seperti tidak dapat
terbendung lagi oleh kelopak matanya, mana mungkin di tengah kebahagian
sahabatnya ia berkata jujur tentang hatinya. Rasanya juga percuma untuk
mengatakan itu, buktinya Hafid sebenaranya mencintai sahabatnya, Putri. Wajah
Putri masi berseri-seri karena senang, ia mengangguk mengizinkan Nina untuk
pulang duluan.
“Aku akan cerita
besok ya Nin” Putri berteriak saat Nina akan segera melewati pintu, ia menoleh
sebentar dan memberikan anggukan kepada sahabatnya itu.
Nina bingung harus
kemana ia pergi, tidak mungkin baginya menangis sepanjang perjalanan pulang
menggunakan angkot. Ia berjalan menuju toilet menggantung tas selendangnya dan
mengambil sapu tangannya, ia menghapus air matanya walau terasa sia-sia, air
mata yang sempat tertahan tadi mengalir deras, rasa perih itu makin nyata. Ia
rasa lututnya lemas, beban di dadanya semakin berat saja, sebegitu besarnyakah
rasa cintanya pada Hafid sehingga seperti ini rasanya. Nina sadar bahwa
cintanya telah bertepuk sebelah tangan. Ia berusaha menghibur dirinya sendiri,
bahwa dirinya patut senang karena kebahagian sahabatanya. Ia juga harus yakin
bahwa Putri adalah yang terbaik bagi Hafid, ia cantik, baik dan pintar
sementara dirinya terkenal di kelas sebagai anak yang sering mengganti-ganti
pacarnya terlebih selama ini Nina belum menunjukkan prestasinya di kelas.
Sedangkan Putri adalah seorang siswi pandai yang tidak pernah absen masuk lima
besar di kelas. Nina menyadari kesalahan-kesalahannya ia terlalu banyak berbuat
sewenang-wenang pada adik kelas, dan merasa paling senior. Ia merasa beruntung
memiliki sahabat seperti Putri yang bisa membatasi pergaulannya walau terkadang
ia sering mengabaikannya untuk berkumpul dengan anak-anak yang terkenal kerena
kecantikannya dan exisnya di sekolah. ‘Putri adalah seorang yang terbaik untuk
Hafid, seharusnya aku bahagia’ pikirnya. Ia menghapus air matanya yang
mengering dengan tisu basah dari tasnya. Hatinya sudah membaik sekarang. Rasa
perih itu mulai berkurang, hatinya mulai bisa menerima. Ia membasahi kedua
matanya yang terlihat bengkak karena menangis, lalu mengusapnya dengan
saputangan, ia lalu keluar dari toilet. Sebelumnya ia melihat-lihat barang kali
ada orang yang akan melihatnya bila ia keluar. Tapi ternyata seisi sekolah
sudah sepi, yang terdengar hanya suara kepala sekolah yang sedang memimpin
rapat di ruang guru, Nina keluar dengan mata yang terlihat merah dan bengkak.
Ia berjalan menyusuri
kelas di lorong menuju Perpustakaan, ia teringat lagi oleh Hafid lalu ia buang
pikiran itu jauh-jauh. Ia masuk ke Perpustakaan untuk mengembalikan buku
referensi Fisika yang ia pinjam kemarin saat ada Hafid, dan tentunnya sebelum
kejadian ini.
Ia mengisi daftar
pengunjung, Bapa penjaga Perpus yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu
memandangnya aneh karena Nina terlihat berantakan dengan mata seperti kemasukan
air, bengkak. Untung Bapa Perpus tidak bertanya apa-apa, Nina lalu duduk di
bangku Perpus. Ia memutuskan mengistirahatkan dirinya sebentar sebelum pulang.
Teringat olehnya bahwa Putri akan bercerita tentang Hafid saat ia menjawab
cintanya besok, ia harus siap dan melupakan Hafid. Ia juga sadar bahwa ia harus
mengubah sifatnya mulai sekarang, ia bertekat untuk fokus belajar untuk
membahagiakan kedua orang tuanya. Ia sadar bahwa selama ini banyak membuat
orang tuanya sedih karena ia sering membuat ulah di sekolah, bertengkar dengan
adik kelas ataupun karena nilainya yang kurang dari ketuntasan beberapa mata
pelajaran. Di meja tempat ia duduk terlihat sebuah buku novel yang tergeletak
tak jauh dari jangkauannya, ia lalu mengambilnya, di cover novel tersebut
tertulis, ‘Padang ilalang di belakang rumah karya NH.Dini’.
Ketika Mas Gagah
Pergi
Karya Helvi Tiana
Rosa ( HTR )
Mas Gagah berubah!
Ya, sudah beberapa
bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu
benar-benar berubah !
Mas Gagah Perwira
Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang
sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja… ganteng! Mas Gagah juga sudah
mampu membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak
SMA.
Sejak kecil aku
sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku
kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur
dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan
mengajariku mengaji.
Pendek kata, ia
selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak
untukku.Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit
waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film
atau konser musik atau sekedar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang
humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku
tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar
teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan
dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol.
Tak ada yang tak
menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua
dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya !
“Kakak kamu itu
keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih ?”
“Git, gara-gara kamu
bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan
teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?”
“Gimana ya Git, agar
Mas Gagah suka padaku ?”
Dan masih banyak
lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga.
Pernah kutanyakan
pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ?
“Mas belum minat tuh
! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran.
Banyak juga yang patah hati ! He…he…he..” kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam
pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa
depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan
sholat !
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang
telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah !
Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan.
Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
–=oOo=–
“Mas Gagah ! Mas
Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah
keras-keras.
Tak ada jawaban.
Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan
pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku
bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alaikuuum!”
seruku.
Pintu kamar terbuka
dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?”
tanyanya.
“Matiin kasetnya !”
kataku sewot.
“Lho emang kenapa ?”
“Gita kesel bin sebel
dengerin kasetnya Mas Gagah ! Memangnya kita orang Arab… , masangnya kok
lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini nasyid. Bukan
sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !”
“Bodo !”
“Lho, kamar ini kan
daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan
Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas
pasang di ruang tamu, Gita ngambek…, mama bingung. Jadinya ya, di pasang di
kamar.”
“Tapi kuping Gita
terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…, eh tiba-tiba
terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang
kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya
kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau
begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Bagus, lho !”
“Ndak, pokoknya Gita
nggak mau denger!” aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku
benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana
kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau
Giginya?
“Wah, ini nggak
seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu
mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid
Islami. Gita mau denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !” begitu
kata Mas Gagah.
Oalaa !
–=oOo=–
HAMPIR SATU LITER
STRAWBERRY
Cerpen Karya Ifa
Avianty
Asam manis kehidupan
bak buah strawberry …
Bila kusebut dengan
satu kata untuk menggambarkan perasaanmu, kukatakan kau setia, Phie. Gimana
nggak setia? Kamu rela menanti untuk sesuatu yang nggak pernah jelas dari orang
yang nggak jelas pula. Maaf, jika kukatakan Kang Bayu-mu itu manusia yang nggak
jelas.
Lihatlah, bagaimana
bentuk hubungan kalian selama ini? Disebut pacaran juga, kalian tidak seperti
pasangan-pasangan lain yang memang sedang kasmaran. Terlebih, setelah kalian
makin aktif di dakwah. Kalian putus, begitu katamu.
Tapi, kalau sudah
putus, ngapain masih saling berharap? Bukannya malah menambah perih di hati
saja?
Aku bingung, Phie.
Apalagi, aku juga bukan orang yang satu komunitas dengan kalian. Aku paham
kalian ingin membersihkan hati. Aku mengerti kalian menganut prinsip berpacaran
setelah menikah. Tapi, menurut logikaku yang awam ini, jika kalian sudah
berpendapat demikian, ditambah lagi, kalian sudah putus, ya, seharusnya kalian
bisa mengikhlaskan, dong, dengan siapa mantan pacar kalian itu kelak menikah!
Demikian juga sebaliknya.
"Ah, yaaa ...,
berat. Terasa berat sekali," katamu.
"Mungkin karena
kalian sudah demikian lama dan terbiasa ada bagi sang kekasih?" tanyaku.
"Yaaa ..., bisa
jadi," jawabmu dengan mata menerawang.
Setelah terdengar
berita Kang Bayu akan menikah dengan gadis cantik bernama Karina, kamu masih
juga berada di tempat yang sama. Masih tegar menyimpan sebentuk asa baginya.
"Buat apa
?" tanyaku. "Bukankah sudah jelas dia akan menikah?”
"Aku hanya butuh
waktu untuk melupakannya," jawabmu sendu. Saat itu, kita lagi makan malam
di Pizza Hut, Kelapa Gading Mall.
Oya, setelah kejadian
Kang Bayu akan menikah itu, kulihat kamu menjadi pemurung. Hampir setiap malam,
sepulang kerja, kamu memintaku menjemputmu, lalu kita menghabiskan malam dengan
makan di luar. Saat itu, aku sudah bekerja di sebuah biro iklan asing (tentu
dengan gaji yang alhamdulillah sehingga aku bisa menyicil sebuah sedan Timor),
kamu bekerja sebagai dosen, dan Kang Bayu jadi peneliti.
”Sampai berapa lama,
Phie? Sampai dia dan istrinya sudah beranak banyak dan rambutmu juga sudah
memutih?"
"Entahlah ….
Bantu aku dengan doa ya, La?”
"Kalau itu mah,
jangan ditanya ...."
Tapi, aku juga punya
agenda lain, Phie. Kamu harus segera menikah juga agar lupa terhadap manusia
aneh itu.
So, aku jodohkan kamu
dengan beberapa teman laki-Iakiku. Dasarnya kamu juga supel, tentu tak susah
bagimu menjalin pertemanan, bahkan persahabatan dengan mereka. Namun, ternyata
hanya bersahabat, tak lebih!
****
"Aku nggak mau
pacaran, La. Kamu kan, ngerti," katamu suatu malam di sebuah warung makan
di biIangan Pati Unus, Blok M.
"Hei, Neng, yang
nyuruh kamu pacaran itu sapa? Sapi?!"
"Tapi, si Mulyadi
mulai menyebalkan. Aku kan hanya ingin berteman, ehhh ..., nekat banget kemarin
dia menjemputku ke kantor dan tiba-tiba nembak. Kayak anak SMA saja!”
Aku tahu, raut mukaku
saat itu berubah. Ada rasa bersalah dalam diriku. Mulyadi, teman yang kukenal
lewat pertemuan alumni Trisakti, memang rada nekat. Aduuuh ..., kenapa aku
malah mengenalkan mereka, sih? Lagian, Mulyadi gila juga, ya? Dia kan, sudah
punya tunangan di Australia sana?
"Mul … nembak
kamu, Phie?"
"Iya ...,
memangnya dia nggak lihat jilbabku apa, ya?"
"Nembaknya di
mana?"
"Di parkiran
kampus. Bikin malu saja! "
"Terus kamu
gimana?"
"Ya, aku dengan
tegas bilang, nggak bisa! Sambil agak bercanda juga sih, khawatir menyinggung
...."
Lalu, tamatlah
riwayat pertemananmu dengan playboy kadal bernama Mulyadi itu. Sebab, Mul
demikian marah dan menjauhi kita berdua. Hahaha ..., asam banget ya, hidup ini?
Ditolak cintanya, malah ngambek!
****
Tahun demi tahun
berlalu, namun tak kudengar juga kabar pernikahan Kang Bayu dengan Karina. Kamu
pun berulang kali terheran-heran dan bertanya kepadaku. Kata Intan, sih,
pernikahan mereka batal. Batal kenapa? Ini yang nggak jelas. Soalnya, Karin
keburu berangkat S2 ke Yogya, MM UGM setelah lulus S1 di Trisakti.
Namun, adakah
hubungan Kang Bayu dan Karina berlanjut?
Ini juga nggak jelas.
Sebab, Intan juga tak tahu lagi kabar beritanya. Apalagi, setelah tak lama
kemudian, Intan menikah dan diboyong suaminya ke Surabaya. Praktis, Intan tidak
lagi mengaji denganmu. Praktis juga, kita makin susah saja mendapatkan akses berita
tentang Kang Bayu.
Kamu pun masih belum
menikah. Aku juga. Kalau aku, sih, masih belum kepengin, soalnya aku kan mesti
membiayai keluargaku dulu. Adik-adikku banyak yang belum selesai sekolahnya.
Tanggung jawab finansial ada di tanganku setelah aku lulus dan bekerja.
Tapi kamu, Phie?
Berulang kali kamu
menolak tawaran jodoh, baik yang datang dari pembinamu, keluargamu, maupun yang
dengan tanpa malu-malu menembakmu kayak si Mul itu. Kamu bergeming, Phie.
****
"Kamu masih
nunggu Kang Bayu, ya, Phie?" tembakku suatu hari.
"Ah ..., kata
siapa? Nggak, kok."
Sejenak, kutatap bola
matamu yang bundar itu. Ada sesuatu yang mengabut di sana. Kamu berdusta, Phie.
"Mungkin nggak,
sih, kalian bukan jodoh?"
"Mungkin ….
Lagian, sungguhan, deh, aku juga nggak nungguin dia. Nggak jelas, La, kayak
layangan putus. Bikin rusak hati aja, nambah dosa.”
"Nah, tuh tahu!
Ya, sudah, melangkahlah kamu, Phie,"
"Nggak semudah
itu, Lila.”
"Apa lagi yang
kamu tunggu, sih?"
"Yaaa ...,
menunggu hatiku mengatakan, ya.”
"Kapan?"
"Mana kutahu,
La? Kamu ini nanya melulu. Bawel, ya?”
****
Tahun 2000, aku
berangkat ke Jepang, melanjutkan S2. Kita bertangisan dengan noraknya di
airport saat aku akan boarding.
Kayak bakal nggak
ketemu lagi, batinku geli. Aku hanya dua tahun di sana, Sophie.
Tiga bulan kemudian,
kamu mengirim e-mail untukku. Isinya, kamu sedang proses dengan seorang ikhwan,
pilihan keluargamu. Teman Kang Ceppy, katamu. Seorang aktivis dakwah, karyawan
sebuah perusahaan Internet, dan nggak ganteng, katamu. Alih-alih bahagia, kamu
malah meminta saran kepadaku, bagaimana cara menolaknya sebab Kang Ceppy dan
keluargamu sudah mengancammu untuk menerimanya. Yaaa ..., aku mengerti mereka,
Phie. Kamu sudah tiga puluh, lho!
Kubalas
e-maiI-e-maiImu dengan saran yang seobjektif mungkin. Bagaimanapun, aku tahu
kamu, Phie. Kamu tidak suka dipaksa.
Aku sujud syukur saat
akhirnya, dua bulan kemudian, kamu menikah juga dengan Pasya, laki-laki itu.
Aku bahagia, Phie, sangat bahagia sebab akhirnya kamu memilih jalan melupakan
Kang Bayu.
Dari Osaka, aku tetap
mendoakanmu, Phie.
Begitupun saat
setahun kemudian, kamu melahirkan sepasang anak kembar yang lucu. Bulan dan
Bhumi. Lengkap sudah kebahagiaanmu.
Tapi aku salah, Phie.
Batinku menjerit saat
kau kirimkan foto terbarumu. Kurus kering, layu, dengan mata yang memar. Ada apa,
Phie? Sebab, hanya foto itu yang kau kirim sebagai attachment e-mail-mu. Tanpa
berita.
Ada apa, Phie?
*Aiz*
Satu Hari Di
Pengadilan Agama
Cerpen Karya Naqiyyah
Syam
Masih pagi sekali
sudah memasuki kawasan perumahan real-estate Grand Depok City. Dari pintu
gerbang, setelah turun dari angkot, kupanggil abang ojek agar mengantarku
menuju kantor Pengadilan Agama.
Melintasi
bangunan-bangunan megah dan pepohonan asri, tampak jalanan masih lengang. Sejuk
dengan nuansa yang bersih, sejenak menghanyutkan sesak di dada, dan jantungku
yang belakangan kerap mengganggu.
Setelah melewati
beberapa gedung perkantoran, Dinas Kebakaran, Pencatatan Tanah, dan entah
apalagi, akhirnya sampailah di antara gedung Imigrasi dengan Pengadilan Agama.
“Kurang, Bu, masa
segini?” cetus abang ojek ketika kuulurkan selembar sepuluh ribuan. Kutatap
sekilas lelaki paro baya itu, mungkin pensiunan atau memang sudah profesinya
pengojek seumur hidup.
“Biasanya juga
segitu, Bang. Ini bukan pertama kalinya ke sini,” kataku sambil mencari tambahan
recehan di tas.
Seketika ia
menggerutu dengan mimik tak suka, melirikku sekilas dalam tatapan terkesan
melecehkan.”Tapi saya baliknya kosong, Bu, masa tega?” bantahnya terdengar
ketus di kupingku.
Sesaat aku terdiam
membisu. Tatapan yang terkesan melecehkan itu membuat jantungku seketika
berdenyar kacau. Tatapan yang tak jauh beda dengan mata seseorang, ketika
menyuruhku pergi dari rumah, disebabkan nafsu syahwatnya yang sudah tak
terbendung lagi.
Takkan pernah
kulupakan kalimatnya yang membuatku memutuskan meninggalkan rumah, malam itu
juga: “Aku mau bawa istriku ke sini untuk mengurus kamu. Tapi kalau kamu tak
setuju, ya, sudah; pergi saja dari rumah ini,” katanya tegas, tanpa perasaan
sama sekali.
Wajahnya yang persegi
khas milik lelaki seberang itu tampak tanpa ekspresi. Membeku, sebagaimana
dulu, ketika dia sangat hobi menganiayaku dan anak-anak semasa mereka kecil.
Mengurusku, katanya?
Dalih macam apa yang muncul di otak kacaunya itu? Bagaimana mau mengurus
diriku, kalau sejak pernikahan diriku dibiarkan berjuang mencari nafkah
sendiri? Bahkan jika sakit pun aku lebih banyak mengandalkan keluargaku, dan
kedua anakku daripada suami yang tak pernah peduli, hanya memikirkan
kepentingan dirinya sendiri.
“Ini!” kusodorkan
selembar lagi sepuluh ribuan, kutahan sedemikian rupa masygul dan jengkel yang
meruyak dalam dada.
“Gak ada
kembaliannya!” Nah, terdengar semakin ketus saja di kupingku yang jelas belum
tuli!
“Ya, sudah, aku
ikhlaskan buat kamu!” Suaraku terdengar meninggi bahkan di kupingku sendiri. Gegas
kutinggalkan si tatapan melecehkan yang mengingatkanku akan kenangan buruk itu.
Ada sesal, mengapa harus memilih ojek dan bukan taksi saja yang jelas tarif dan
kenyamanannya.
Masih sepi, tak ada
sepotong pun manusia di ruangan pendaftaran itu. Tapi ada beberapa lembar
kertas, kuamati ternyata lembar daftar hadir. Kuisikan nama dan nomer perkaraku
di urutan pertama; 1625.
Duduk di depan ruang
sidang dua, beberapa jenak aku tak tahu harus berbuat apa. Seharusnya bawa
laptop biar bisa melanjutkan garapan novel. Namun, kutahu segala pikiran dan
enerjiku dalam lima bulan terakhir telah terkuras demi meredam nestapa hatiku,
kali ini.
Ah, seketika
melembayang lagi di tampuk mataku sosok itu, bapak kedua anakku yang
mengharuskanku sekarang berada di tempat yang mengurus segala macam
gugat-menggugat, sengketa berujung pada satu ketukan palu Hakim.
Tigapuluhdua tahun,
sungguh bukan waktu yang singkat untuk mengukir sejarah manusia. Berbagai
persitiwa, kekerasan dalam rumah tanggaku, jatuh bangun ketegaranku sebagai
seorang istri, semua telah menjadi warna buram yang bisa kutuliskan dengan
tinta semesta cinta yang kumiliki.
“Aku tidak bisa
begini terus. Kamu semakin sering sakit dan menolak hasrat seksualku. Kamu
harus membiarkanku menikah lagi,” cetusmu entah untuk kali ke berapa.”Lagipula,
aku sudah tak ada rasa, apalagi cinta dan sayang kepadamu. Yang ada hanya rasa
kasihan, sementara aku merasa terpenjara dalam kondisi yang menyesakkan
begini,” lanjutnya menceracau bak rentetan peluru, sehingga seluruh benteng di
hatiku luluh-lantak sudah.
“Iya, aku sudah paham
dan telah kuizinkan kamu menikah lagi sejak belasan tahun yang lalu. Silakan
saja. Aku hanya minta tidak perlu dibawa ke hadapanku, tidak perlu juga diumbar
beritanya. Lakukanlah dengan hati nuranimu, itupun kalau kamu masih punya,”
akhirnya mulutku yang beku mampu jua mengeluarkan sikap.
Memang kemudian
kubiarkan dia bebas melakukan apapun, sementara kuabdikan terus seluruh hidupku
untuk kesejahteraan rumah tangga. Meskipun aku sering bepergian ke luar daerah,
ke mancanegara, segala keperluan untuk makan sehari-hari selalu kusiapkan,
kutitipkan kepada anakku bungsu yang masih tinggal bersama kami.
Jadi, kutunggu saja
bagaimana dia mewujudkan mimpinya yang disebutnya sebagai; cita-cita, obsesi
untuk punya istri lagi. Hal ini malah selalu diwartakannya dalam status akun
Facebook. Sementara setiap kali dia menginginkan melampiaskan hasratnya, aku
telah punya dalih untuk menolaknya.
“Kita sudah
memutuskan akan berpisah, jadi jangan lagi menuntut hal itu,” kataku semakin
dingin.
Aku tak pernah
memuntahkan kemarahanku atas penyakit kotor yang pernah ditularkannya kepada
diriku, beberapa tahun yang silam. Cukup kupendam dalam-dalam di hatiku.
Telah dua anak
keturunan kami dan keduanya telah mandiri. Sulungku, anak laki-laki seorang
Master IT, manager sebuah perusahaan teknologi bonafide. Adiknya perempuan
sarjana hukum, belum lama menikah, sebentar lagi menjadi seorang pengacara
hebat. Aku yakin itu!
Mendadak adikku yang
janda dan sering tinggal di rumah kami, melaporkan pelecehan yang telah
dilakukan abang ipar terhadap dirinya. “Dia nyaris saja memperkosaku, Teteh.
Bahkan kemarin dia meremas tangan dan bokong anakku. Dia kan masih ABG, sampai
nangis-nangis dan trauma tidak mau datang ke sini lagi,” lapornya sambil menahan
kemarahannya.
Cukup sudah, jeritku
mengawang langit. Aku masih bisa bertahan puluhan tahun, meskipun sering
dianiaya, sering dikhianati dan punya kekasih gelap sejak tahun pertama
pernikahan kami. Aku pun masih bisa memaafkannya, saat dia tak pernah
memedulikanku jika aku sakit parah di rumah sakit. Bahkan aku masih bisa
menerima dan bersabar, meskipun telah ditulari penyakit kotornya!
Tapi saat kudengar
adik kesayangan dilecehkan seperti itu, bahkan putrinya yang masih belasan
tahun dilecehkannya juga, innalilahi. Demi Allah, aku takkan pernah bisa
mengampuninya!
“Teteh, maafkan
telat, ya,” kata seorang perempuan 40-an, menghampiriku dan memelukku,
menambahkan dengan kata-kata penyemangat.
“Tidak apa-apa, masih
banyak waktu,” sambutku senang dan lega. Setelah dua kali berhalangan menjadi
saksiku, akhirnya dia bisa juga datang menepati janjinya.
Kupandangi adik
keenam yang kini menjadi karyawati di perusahaan sahabatku itu. Wajahnya tampak
ceria, kupahami itu, dia telah menemukan calon pendamping dan ayah pengganti
untuk kedua anaknya. Kudoakan sebentar lagi mereka menikah.
Setelah jam menunjukkan ke angka sembilan
tepat, akhirnya nama dan perkaraku dipanggil sesuai urutan pertama. Kugandeng
adikku Ros ke ruang sidang, kubisikkan kepadanya:”Katakanlah sejujurnya tentang
kesaksianmu, ya Dik.” Dia mengangguk sebelum kemudian duduk di bangku deretan
belakang.
Hakim Ketua, seorang
perempuan sebayaku, membuka sidang dengan membacakan ulang perkaraku diakhiri
rangkaian pertanyaan yang sama, persis seperti pada siang pertama dan kedua
sebelumnya.
”Bagaimana mau lanjut
saja, Bu? Atau mau menarik perkaranya?”
“Lanjutkan sajalah,
Bu Hakim,” tukasku.
“Ibu kan sudah tua,
sudah sama-sama sepuh. Katanya kemarin sudah punya dua cucu, ya kan? Apa tidak
sayang dengan suami?”
“Bukan itu
masalahnya….”
“Dia pegawai negeri,
meskipun sudah pensiunan. Kalau cerai, nanti Ibu tidak akan mendapatkan
pensiunannya?”
Masya Allah,
jangankan mengharapkan tunjangan pensiunannya. Seumur hidup aku tak pernah tahu
berapa gajinya!
Aku berdiri minta
maaf dan menyerahkan selembar surat pernyataan yang ditanda tangani lelaki itu.
Kata putriku, si bungsu, bapaknya tampak begitu sukacita dan bahagia saat
menandatanganinya.
Hakim Ketua terdiam,
beberapa jenak mencermati surat pernyataan resmi tersebut. Selang kemudian
menyerahkannya kepada Wakil Hakim. Lelaki berkacamata itu kemudian meminta
adikku memberi kesaksian dengan disumpah lebih dahulu.
Seperti yang pernah
dilaporkannya kepadaku, adikku menyampaikan kesaksiannya:”Dulu sering melihat
kakak saya dan anak-anaknya dianiaya. Dia tidak pernah memberi nafkah dan
sering selingkuh. Beberapa bulan yang lalu, dia melecehkan saya dan putri
saya,” ceracaunya mantap dan meyakinkan sekali.
“Baiklah, karena Ibu
yang menggugat cerai, maka sesuai peraturan; Ibu harus mengembalikan mahar,
disebut juga iwadl sebesar 10 ribu rupiah yang akan disumbangkan ke Baitul
Mal.”
“Bayar sekarang, ya
Bu Hakim?” tanyaku agak kebingungan, tak mengira akan ditodong pembayaran lain
di luar biaya gugat cerai yang 751 ribu rupiah itu.
“Ya, sekarang juga.”
Aku buru-buru mencari
sepuluh ribuan, ternyata masih ada selembar, sisa bayar ojek. Kuserahkan segera
dan kuterima kuitansi yang sudah disiapkan.
“Hari ini, bla,
bla….. Jatuh talak satu dari Karibun Siregar kepada Siti Maryamah, tok,tok,
took!” Demikian kira-kira keputusan akhir Hakim Ketua.
Keluar dari ruang
sidang, adikku menggandeng tanganku dan berbisik:”Itu bayar mahar apaan, ya
Teteh? Seingatku, dulu maharnya kan diutang? Memang sudah dibayarkan?”
Degh! Jantungku
serasa lepas, kepalaku pun berdenyar-denyar. Adikku masih mengingatnya ternyata.
Dia, lelaki dari seberang itu, 32 tahun yang silam memang mengucap ijab
kabulnya: ”Terima nikahnya dengan Siti Maryamah binti Ahmad dengan emas kawin
diutang!” (Pipiet Senja, Jakarta, 30 Oktober 2012)